Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis rencana untuk mencegah perlakuan buruk oleh pekerja bantuan yang ditugaskan di lapangan, setelah staf WHO terlibat dalam skandal pelecehan seksual di Republik Demokratik Kongo.
Sekitar 83 pekerja bantuan –seperempat di antaranya dipekerjakan oleh WHO– terlibat dalam eksploitasi dan pelecehan seksual selama epidemi ebola yang masif di negara itu pada 2018-2020, menurut laporan sebuah komisi independen bulan lalu.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus berjanji untuk memastikan bahwa perkara dan penderitaan para korban akan menjadi “pemicu untuk transformasi budaya WHO yang mendalam.” Tedros menegaskan bahwa tidak akan ada peluang terjadinya eksploitasi seksual, tidak ada pengampunan jika itu terjadi, dan “tidak ada toleransi untuk kelambanan”.
“WHO akan menyelidiki potensi tindakan kelalaian oleh staf senior yang mungkin merupakan pelanggaran seperti yang direkomendasikan oleh komisi independen,” kata juru bicara WHO Tarik Jasarevic dalam jumpa pers Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat.
WHO telah memutus kontrak empat staf yang diidentifikasi sebagai pelaku dan menyerahkan proses hukum kepada pihak berwenang Kongo.
Donor utama pimpinan Amerika Serikat dan Uni Eropa telah mendesak WHO untuk melakukan penyelidikan eksternal lebih mendalam.
Mereka menuntut penjelasan bagaimana skandal itu dibiarkan terjadi, kata para diplomat kepada Reuters pekan lalu.
WHO meminta kantor PBB yang bertanggung jawab melakukan pengawasan internal sehubungan dengan staf dan organisasi (UN OIOS) untuk melakukan peninjauan, dan jika perlu, penyelidikan lebih lanjut ke semua kasus dugaan eksploitasi dan pelecehan seksual yang diidentifikasi oleh komisi independen, termasuk yang mereka identifikasi pelakunya adalah staf WHO.
Tim penyelidik eksternal yang terpisah akan mengawasi penyelidikan “dugaan kesalahan manajerial sehubungan dengan kegagalan untuk memulai prosedur penyelidikan”, kata WHO dalam pernyataannya.
Tedros, yang mengunjungi Kongo 14 kali selama epidemi ebola, mengatakan kepada wartawan bulan lalu ketika komisi itu mengungkapkan temuan lengkapnya bahwa tidak ada yang mengangkat tuduhan itu.
Seperti pertama kali dilaporkan oleh Reuters pekan lalu, WHO mengatakan bahwa pihaknya telah mengerahkan para ahli ke 10 negara berisiko tinggi, termasuk Afghanistan dan Ethiopia, untuk mencegah eksploitasi seksual.
Dalam seminggu terakhir, hampir 40 karyawan WHO dan lembaga mitra PBB telah dilatih dalam upaya pencegahan.