Wapres AS Kunjungi Pulau Filipina Dekat Perairan yang Diklaim China

0
61

Wakil Presiden AS Kamala Harris, Selasa (22/11), mengunjungi sebuah pulau Filipina di dekat perairan yang diklaim oleh China untuk menunjukkan dukungan bagi sekutu lama AS itu dan melawan pengaruh Beijing yang berkembang di wilayah tersebut.

Harris adalah pejabat tertinggi AS yang pernah mengunjungi pulau Palawan, daratan Filipina terdekat dengan kepulauan Spratly di Laut China Selatan yang diperebutkan dengan sengit.

Beijing mengklaim kedaulatan atas hampir seluruh perairan itu dan mengabaikan putusan pengadilan internasional bahwa klaimnya tidak memiliki dasar hukum.

Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei memiliki klaim yang tumpang tindih dengan China di perairan itu.

Harris bertemu dengan beberapa nelayan di desa pesisir dan sejumlah anggota Garda Pantai Filipina.

Dalam pidatonya, Harris mengatakan “aturan dan norma internasional” harus ditegakkan dan keputusan pengadilan yang didukung PBB yang menolak klaim China atas Laut China Selatan harus dihormati.

“Amerika Serikat – dan komunitas internasional yang lebih luas – memiliki kepentingan besar pada masa depan kawasan ini,” katanya, di atas sebuah kapal Garda Pantai Filipina.

“Sebagai sekutu, Amerika Serikat mendukung Filipina dalam menghadapi intimidasi dan pemaksaan di Laut China Selatan,” imbuhnya.

Perjalanan Harris ke Palawan dilakukan sehari setelah dia mengadakan pembicaraan dengan Presiden Filipina Ferdinand Marcos di Manila.

Harris menegaskan kembali komitmen “tak tergoyahkan” Amerika Serikat untuk membela Filipina jika kapal atau pesawatnya diserang di Laut China Selatan.

Washington telah menjalin aliansi keamanan selama puluhan tahun dengan Filipina yang mencakup perjanjian pertahanan bersama dan pakta 2014, yang dikenal dengan akronim EDCA, yang memungkinkan militer AS untuk menyimpan peralatan dan pasokan pertahanan di lima pangkalan Filipina.

Pakta itu juga memungkinkan pasukan AS untuk berputar melalui pangkalan militer tersebut.

EDCA terhenti di bawah mantan presiden Rodrigo Duterte, tetapi Amerika Serikat dan Filipina kini telah sepakat untuk mempercepat implementasinya karena China menjadi semakin agresif.