Wall Street jatuh karena aksi jual berlanjut, Dow anjlok 486,27 poin

0
66

Wall Street merosot pada akhir perdagangan Jumat (Sabtu pagi WIB), karena aksi jual besar-besaran berlanjut di tengah kekhawatiran resesi setelah kebijakan suku bunga hawkish Federal Reserve AS untuk mengekang inflasi yang terus memanas.

Indeks Dow Jones Industrial Average anjlok 486,27 poin atau 1,62 persen, menjadi menetap di 29.590,41 poin.

Indeks S&P 500 tergelincir 64,76 poin atau 1,72 persen, menjadi berakhir di 3.693,23 poin.

Indeks Komposit Nasdaq jatuh 198,88 poin atau 1,80 persen, menjadi ditutup di 10.867,93 poin.

Semua 11 sektor utama S&P 500 berakhir di wilayah negatif, dengan sektor energi dan konsumer non-primer masing-masing terpuruk 6,75 persen dan 2,29 persen, memimpin kerugian.

Ketiga indeks mengalami penurunan mingguan yang berat.

Indeks Nasdaq anjlok 5,03 persen – minggu kedua berturut-turut turun lebih dari 5,0 persen – dengan S&P 500 jatuh 4,77 persen dan Dow 4,0 persen lebih rendah.

Pasar bereaksi dalam mode risk-off (penghindaran risiko) karena meningkatnya kekhawatiran bahwa pengetatan kebijakan agresif Federal Reserve akan menyebabkan resesi.

The Fed pada Rabu (21/9) menyampaikan kenaikan suku bunga 75 basis poin ketiga berturut-turut tahun ini, membawa suku bunga dana federal ke kisaran baru 3,0 persen hingga 3,25 persen, dalam upaya untuk mengendalikan inflasi.

Besarnya kenaikan suku bunga sudah diperkirakan secara luas, tetapi laju pengetatan di masa depan yang tersirat oleh proyeksi ekonomi terbaru Fed lebih agresif daripada yang diantisipasi.

Komentar dari Ketua Fed Jerome Powell juga tetap hawkish, menekankan bahwa bank sentral fokus untuk mencapai stabilitas harga.

The Fed memperkirakan bahwa ini akan membutuhkan periode berkelanjutan dari kebijakan moneter ketat, pertumbuhan ekonomi lemah dan pengangguran yang lebih tinggi.

“Pesan The Fed keras dan jelas: Menaklukkan inflasi terbukti jauh lebih sulit dari yang diharapkan, dan mengejar tujuan itu kemungkinan akan datang dengan beberapa kerusakan tambahan,” analis di J.P.

Morgan mengatakan Jumat (23/9) dalam sebuah catatan.

Setelah menikmati keuntungan besar selama dua tahun terakhir, Wall Street telah diguncang pada tahun ini oleh kekhawatiran tentang sejumlah masalah termasuk konflik Ukraina, krisis energi di Eropa, wabah COVID-19 di China, dan kondisi keuangan yang semakin ketat di seluruh dunia.

Setengah lusin bank sentral, termasuk di Amerika Serikat, Inggris, Swedia, Swiss, Norwegia dan Indonesia, memberikan kenaikan suku bunga minggu ini untuk memerangi inflasi, tetapi sinyal The Fed yang memperkirakan suku bunga AS yang tinggi akan bertahan hingga 2023 yang membuat pasar kesulitan.

“Kami meminta semua orang menilai kembali dengan tepat seberapa jauh Fed akan melangkah, dan itu mengganggu perekonomian,” kata Ed Moya, analis pasar senior di OANDA.

“Ini menjadi skenario dasar bahwa ekonomi ini akan mengalami hard landing, dan itu adalah lingkungan yang mengerikan bagi saham AS.”