JAVAFX – Djauhari Oratmangun, Duta Besar RI untuk China menjelaskan bahwa “Hubungan perdagangan antara Indonesia dengan China masih belum terganggu ditengah penyebaran virus corona yang terus menyebar dan salah satunya dipicu oleh peningkatan kebutuhan masker di Negeri Tirai Bambu.”
“Permintaan masker dari Indonesia untuk China juga meningkat secara signifikan karena penyebaran virus corona yang begitu cepat sehingga menimbulkan kekhawatiran yang mendalam. Beberapa pengusaha dari China sudah menghubungi pengusaha di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan masker,” ujar Djauhari.
Dalam pernyataannya, Djauhari memastikan kondisi WNI yang berada di Wuhan, China, dalam kondisi aman. KBRI pun terus menjamin pasokan logistik kepada 100 orang WNI di ibu kota provinsi Hebei tersebut.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sepanjang tahun lalu, China tetap merupakan negara tujuan ekspor terbesar dengan nilai $25,85 miliar. Disusul Amerika Serikat dengan nilai $17,68 miliar dan Jepang $13,75 miliar.
Mengingat kejadian pada saat virus SARS mewabah pada 2002-2003 silam, nilai perdagangan antara Indonesia dan China sempat terkontraksi. Kala itu, dengan tidak beroperasinya perusahaan-perusahaan manufaktur, ekspor dan impor China terhambat. Kondisi tersebut kemudian berdampak bagi negara-negara yang mengekspor produk ke China, termasuk Indonesia.
Penyebaran virus corona ini telah memberi dampak kepada sektor pariwisata di Negeri Tirai Bambu dan ke pasar keuangan global serta meningkatkan cengkeraman kuat pada investor.
Buku Innovation in Global Health Governance: Critical Cases karya Andrew F Cooper, dinyatakan bahwa, wabah SARS merugikan industri pariwisata dan ritel di China masing-masing sebesar 20 miliar Yuan dan 3,5 miliar Yuan pada 2003. Selama wabah itu merebak, 110 negara dari 164 negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan China mengeluarkan larangan penerbangan menuju China.
Otoritas kesehatan China mengatakan Selasa bahwa wabah koronavirus telah menewaskan 106 orang dan sebanyak 4.515 terinfeksi virus tersebut.
Sentimen yang membuat pasar bersikap risk-off (menghindari risiko) adalah penyebaran virus Corona yang semakin luas membuat pelaku pasar khawatir terhadap prospek pertumbuhan ekonomi dunia. Sudah lebih dari 2.000 kasus virus Corona terjadi di China dengan korban jiwa mencapai 82 orang. Tidak hanya di China, virus ini juga sudah menyebar ke berbagai negara di Asia, Amerika, sampai Eropa.
Virus Corona berawal dari Kota Wuhan di Provinsi Hubei, China. Perayaan libur Tahun Baru Imlek membuat virus ini menyebar luas dan cepat, karena tingginya mobilitas masyarakat. Zhou Xianwang, Wali Kota Wuhan, mengakui bahwa upaya pengendalian virus di kota yang dipimpinnya kurang baik. Bahkan dia siap mundur jika memang harus demikian.
Gara-gara virus Corona, perayaan Imlek di China menjadi gloomy. Bahkan Wuhan seolah menjadi kota mati, tidak ada aktivitas berarti saat semestinya warga bersuka cita menyambut tahun baru. Imlek yang biasanya menjadi puncak konsumsi rumah tangga di Negeri Tirai Bambu berubah 180 derajat. Sepertinya dalam waktu dekat konsumsi rumah tangga masih belum bisa diandalkan sebagai mesin pendorong pertumbuhan ekonomi.
Padahal China adalah pendorong pertumbuhan ekonomi Asia, bahkan dunia. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi China tumbuh 6% pada 2020. Namun seiring kelesuan konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor akibat penyebaran virus Corona, maka angka tersebut jadi penuh tanda tanya. Selain konsumsi, aktivitas dunia usaha juga tentu terganggu. Jadi investasi dan ekspor juga kemungkinan besar bakal melambat. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi China akan susah keluar dari jalur pelambatan.
Dengan perkembangan ini, sangat wajar investor enggan bermain di aset-aset berisiko. Lebih baik mengamankan diri dengan memburu aset aman (safe haven) seperti emas atau yen Jepang. Rupiah yang kekurangan peminat tidak punya pilihan selain melemah.