Mantan Presiden Donald Trump pada hari Selasa (15/11) mengumumkan keputusannya untuk mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2024, setelah pemilihan paruh waktu yang tidak memenuhi harapan Partai Republik sebaik yang diharapkan.
Tetapi Trump, sebagai pemimpin partai yang sudah lama, tidak lagi mengejutkan seperti pada tahun 2016 – kali ini, dia mempetaruhkan riwayat kepresidenannya di masa lalu, dan mengatakan bahwa dia memiliki rencana besar untuk masa jabatan keduanya.
Setelah berbulan-bulan memunculkan teka-teki, mengadakan rapat-rapat umum, memberikan isyarat lewat media sosial dan bersikeras dia memenangkan pemilihan 2020 padahal sebenarnya dia kalah, pada Selasa malam Donald Trump mengatakannya dengan lantang.
“Untuk membuat Amerika hebat dan mulia lagi, malam ini saya mengumumkan pencalonan saya sebagai Presiden Amerika Serikat,” ujarnya.
Dalam pidato hampir satu jam pada hari Selasa (15/11), Trump mengecam para pendahulunya, pengkritiknya, otoritas federal, negara bagian, dan distrik yang menyelidiki dirinya.
Dia juga mengecam pers.
Trump mengulangi seruannya untuk fungsi kepolisian yang lebih keras, reformasi pemilihan umum untuk menghilangkan pemungutan suara lebih awal dan penghitungan yang lebih cepat, undang-undang imigrasi yang lebih ketat, undang-undang tentang kesejahteraan sosial yang lebih konservatif, dan anggaran militer yang lebih besar.
Dia juga bersumpah, jika terpilih, untuk “segera” menancapkan bendera Amerika di Mars.
Tetapi bisakah dia melakukan itu semua? Analis mengatakan dia menghadapi dua tantangan politik yang besar.
Tantangan pertama adalah munculnya seorang bintang yang sedang naik daun di Partai Republik, Gubernur Florida yang baru terpilih kembali Ron DeSantis.
Baik Trump maupun DeSantis memiliki kebijakan konservatif tentang hukum dan ketertiban, imigrasi dan anggaran pemerintah.
Michael O’Hanlon adalah direktur penelitian dalam kebijakan luar negeri di Brookings Institution.
Dia berbicara dengan VOA melalui Zoom.
“DeSantis menganut ideologi hukum dan ketertiban yang sama, keduanya punya daya tarik dalam pesannya, memiliki penekanan yang sama pada hal itu, dan pemilih Republik suka seperti itu.
Tetapi dia (DeSantis) juga memiliki sedikit sentuhan manusiawi, sentuhan yang lebih lembut, sentuhan yang lebih manusiawi,” ujarnya.
Dan kendala lainnya adalah Trump sendiri.
Dia saat ini menjadi subjek dari banyak penyelidikan atas keuangannya dan berbagai dugaan tindak kriminal sebelum dan selama kepresidenannya.
Tentang Trump, Michael O’Hanlon menjelaskan, “Dia bukan politisi pemberontak yang menentang kemapanan partai, seperti yang terjadi terakhir kali.
Dalam hal ini, kita sudah mengenalnya dan kita semua melihat empat tahun karyanya di Gedung Putih dan kemudian dua tahun selanjutnya.
Jadi, saya kira orang tidak akan dengan mudah berubah pikiran tentang penilaian mereka terhadap dirinya.” Kali ini, Trump menonjolkan kebijakan selama pemerintahannya dan juga, dengan klaim yang keliru, bahwa dia memenangkan pemilihan 2020.
“Di bawah kepemimpinan kami, kita menjadi bangsa yang besar dan mulia, sesuatu yang sudah lama tidak Anda dengar.
Kita adalah bangsa yang kuat dan yang terpenting, kita adalah bangsa yang bebas.
Tetapi sekarang kita adalah bangsa yang mengalami kemunduran,” kata Trump.
Mantan wakil presiden Trump, Mike Pence, baru-baru ini menyebut Trump “sembrono” karena mendorong para pendukungnya untuk melakukan upaya pemberontakan dengan kekerasan di gedung kongres Capitol pada 6 Januari 2021.
Mereka berusaha menghentikan Kongres untuk mengesahkan kemenangan Presiden Joe Biden atas Trump.
Tapi Pence, dalam sebuah wawancara eksklusif dengan David Muir, pembawa acara ‘World News Tonight,’ menghindar ketika ditanya apakah dia akan mendukung mantan pasangannya itu.
“Saya pikir itu terserah orang Amerika.
Tapi saya kira kami akan memiliki pilihan yang lebih baik pada masa depan,” ujar Pence.
Dan Presiden Biden tidak banyak bicara tentang Trump, selain mengenai kemungkinan pertarungan Trump-DeSantis pada 2024, “Akan menyenangkan melihat mereka bertarung.” Yang lebih serius adalah warisan kekerasan dan ketidakstabilan yang ditinggalkan oleh kepresidenan Trump.
Penyelidikan peristiwa 6 Januari telah digelar ulang secara dramatis dilengkapi detail yang cermat dalam serangkaian dengar pendapat kongres yang dilakukan dengan rapi.
Trump dipanggil oleh komite yang menyelidiki dirinya untuk bersaksi pada hari Senin (14/11).
Dia tidak mematuhi panggilan itu, sehingga komite tidak punya pilihan selain mengambil tindakan hukum.