Trump mengaku tak bersalah pada kasus hasil pilpres AS 2020 di Georgia

0
56

Mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Kamis (31/8) menyatakan tidak bersalah atas tuduhan berusaha membatalkan kekalahannya dalam pemilihan presiden (Pilpres) AS tahun 2020 di Negara Bagian Georgia, AS tenggara.

“Sebagaimana dibuktikan dengan tanda tangan saya di bawah ini, dengan ini saya mengesampingkan pendakwaan resmi dan memasukkan pembelaan TIDAK BERSALAH atas Dakwaan dalam kasus ini,” kata Trump dalam sebuah pengajuan pengadilan di Pengadilan Tinggi Fulton County.

Trump dan 18 orang lainnya didakwa pada 14 Agustus atas dugaan upaya membatalkan hasil pilpres AS 2020 di Georgia.

Trump didakwa dengan 13 dakwaan, termasuk melanggar undang-undang (UU) antipemerasan Georgia, meminta seorang pejabat publik untuk melanggar sumpahnya, berkonspirasi untuk berpura-pura menjadi pejabat publik, berkonspirasi untuk melakukan pemalsuan tingkat pertama, dan berkonspirasi untuk mengajukan dokumen palsu.

Hakim Pengadilan Tinggi Fulton County Scott McAfee telah menetapkan jadwal sidang dakwaan untuk Trump dan terdakwa lain yang didakwa dalam kasus ini pada 6 September.

Pembelaan tersebut berarti mantan presiden AS dari Partai Republik itu tidak akan hadir secara langsung di pengadilan pekan depan untuk menghadapi dakwaan.

Pengacara Trump juga meminta hakim untuk memisahkan kasusnya dari beberapa terdakwa lain yang meminta persidangan cepat dalam kasus ini.

Pekan lalu, Trump menyerahkan diri ke penjara Fulton County di Atlanta, Georgia, dan menjadi mantan presiden pertama yang harus menjalani pengambilan foto tahanan (mug shot).

Trump, kandidat utama dalam pemilihan pendahuluan presiden AS dari Partai Republik pada 2024, telah didakwa dalam empat kasus kriminal, yaitu dua oleh Departemen Kehakiman dan dua oleh jaksa penuntut negara bagian di New York dan Georgia, secara terpisah.

Kasus di Georgia merupakan kasus kriminal keempat yang dituduhkan kepadanya.

Trump mengkritik kasus-kasus yang menimpanya sebagai bagian dari upaya bermotif politik untuk mencegahnya merebut kembali Gedung Putih.