Trump dan New York, Hubungan Cinta tapi Benci ala Amerika

0
76

“Saya tidak bisa mendapatkan keadilan di pengadilan New York!” sembur Donald Trump ketika mengetahui dia didakwa oleh dewan juri Manhattan.

Mantan presiden Amerika Serikat (AS) itu seolah-olah tahu bahwa kampung halamannya yang notabene merupakan cikal bakal tempat ia membangun kerajaan bisnis akan selalu memusuhinya.

Manhattan memang kurang ramah bagi Trump.

Kota itu menanggapi kemenangan Trump pada Pilpres 2016 dengan negatif.

Alih-alih bersukaria, ribuan orang malah turun ke jalan, melakukan unjuk rasa anti-Trump dan meneriakkan slogan “New York membenci Trump!” Pada saat itu, The New York Times dan BBC melaporkan bagaimana cintanya Trump kepada kota metropolitan itu.

Namun cinta Trump bertepuk sebelah tangan karena Manhattan enggan membalas cintanya.

Kedua media tersebut menyebut raja real estat itu “muak karena dibenci” oleh kota yang merupakan pusat ekonomi dan multikultural negara tersebut.

Trump tiba di Trump Tower di Manhattan pada Senin (3/4) malam untuk muncul perdana dalam sidang pertamanya setelah didakwa terlibat tindak pidana penyuapan.

Namun siapa sangka, kedatangan miliarder kali ini mendapat dukungan dari segelintir pendukungnya yang berkumpul di luar sambil meneriakkan, “Kami mencintai Trump!” ​ Namun dukungan itu bisa jadi kurang menghibur bagi Trump karena para seterunya menunjukkan gelagat untuk menuntut “penjarakan dia,” gaung dari yel-yel yang ia utarakan dalam kampanye pertamanya melawan saingan dari Demokrat, Hillary Clinton.

Retorika Rasis Bagi Brian Arbour, seorang profesor ilmu politik di City University of New York, “salah satu alasan terbesar mengapa Trump secara khusus menimbulkan begitu banyak ketidaksukaan” di kota itu karena “New York adalah kota imigran.” Penduduk New York tercatat mencapai 8,5 juta orang.

Mayoritas penduduk yang tinggal di mosaik multikultural di lima wilayah “adalah imigran langsung, atau orang tua dan kakek neneknya beremigrasi, jadi mereka sangat dekat dengan akar imigran mereka,” kata Arbor kepada AFP.

“Kebijakan anti-imigran” Trump saat ia menjadi orang nomor satu di AS pada 2017-2021, bersama dengan “retorikanya yang kasar dan panas” dan “rasis …

tampil sangat buruk di kota yang begitu banyak imigran,” kata Arbour.

Secara politis, New York menjadi kota yang sangat demokratis selama lebih dari satu abad, tambah Arbor.

Mantan wali kota sayap kiri Bill de Blasio digantikan pada Januari 2022 oleh mantan polisi Eric Adams, yang lebih ke kanan, tetapi masih dari Partai Demokrat.

Sebaliknya, Partai Republik lebih dapat diterima di kota dan di negara bagian New York – yang jauh lebih pedesaan dan konservatif daripada kota – selama pemilihan paruh waktu November lalu.

Hal itu “terutama (karena) seputar masalah kejahatan,” ujar Arbor.

Lahir di New York pada 14 Juni 1946 dan dididik di sekolah militer, Trump bergabung dengan perusahaan real estat keluarga setelah mempelajari bisnis, meskipun ia mempromosikan bisnisnya sendiri.

Setelah Perang Dunia II, ayahnya, Fred Trump, seorang keturunan imigran Jerman, membangun sebuah kerajaan di New York dengan membangun gedung-gedung di lingkungan kelas pekerja.

Trump mengambil alih kendali perusahaan pada 1970-an dengan sokongan finansial dari ayahnya.

Ia berhasil mengukir tempat untuk dirinya sendiri di rumah-rumah AS berkat acara TV realitas “The Apprentice”, yang berlatar di Manhatt