Sekjen PBB khawatir atas kekerasan dan korban skala besar di Sudan

0
70

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres khawatir atas laporan mengenai kekerasan skala besar dan jatuhnya banyak korban di Sudan.

Dia sangat khawatir dengan meningkatnya kekerasan etnis, serta laporan kekerasan seksual, kata Juru Bicara Sekjen PBB Stephane Dujarric dalam sebuah pernyataan, Selasa (13/6).

Untuk itu, menurut dia, Guterres meminta pihak-pihak yang bertikai di Sudan untuk menghentikan pertempuran dan berkomitmen untuk penghentian permusuhan yang berkelanjutan.

Guterres juga mendesak semua pihak untuk melindungi warga sipil.

“Dengan hampir 9 juta orang sekarang sangat membutuhkan bantuan dan perlindungan kemanusiaan di Darfur, dia menekankan perlunya mengakhiri penjarahan dan memperluas akses (penyaluran bantuan),” kata Dujarric.

Sudan dilanda krisis sejak pertempuran meletus pada 15 April 2023 antara tentara Sudan dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF).

PBB menyebut situasi kemanusiaan di Sudan sangat genting karena bahan-bahan kebutuhan yang penting untuk kelangsungan hidup masyarakat menjadi langka di pusat-pusat perkotaan yang paling terpukul akibat pertempuran.

Lebih dari 13,6 juta anak sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan untuk menyelamatkan nyawa di Sudan, dan angka itu merupakan jumlah tertinggi yang pernah tercatat di negara itu di tengah pertempuran sengit, menurut Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF).

Lebih dari 700 korban tewas, termasuk 190 anak-anak, dan 6.000 orang lainnya terluka, menurut data PBB.

Selain itu, lebih dari satu juta penduduk telah mengungsi dan lebih dari 840.000 orang mencari perlindungan di daerah pedesaan dan negara bagian lain sementara 250.000 orang lainnya telah melintasi perbatasan Sudan.

Konflik itu dipicu ketidaksepakatan selama beberapa bulan terakhir di antara kedua pihak tentang integrasi RSF ke angkatan bersenjata Sudan, yang menjadi syarat utama dari perjanjian transisi Sudan dengan kelompok-kelompok politik.

Sudan tidak memiliki pemerintahan yang berfungsi sejak Oktober 2021 saat militer membubarkan pemerintahan transisi Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan mengumumkan keadaan darurat dalam sebuah langkah yang dikecam oleh kekuatan politik sebagai kudeta.

Masa transisi, yang dimulai pada Agustus 2019 setelah penggulingan Presiden Omar al-Bashir, dijadwalkan berakhir dengan pemilu pada awal 2024.