Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) Kao Kim Hourn menyatakan ada kemauan politik baik dari organisasi regional tersebut maupun China untuk mempercepat perundingan pedoman tata perilaku (CoC) Laut China Selatan (LCS).
“Di kedua belah pihak, ASEAN dan China, sepakat untuk terus bekerja sama dan mempercepat perundingan ini secepat mungkin.
Dan saya yakin ada kemajuan karena ada kemauan politik yang nyata dari kedua pihak untuk melangkah maju,” kata Kim dalam pengarahan di Jakarta, Selasa.
Kesepakatan untuk mempercepat perundingan CoC diadopsi dalam Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN bersama China pekan lalu, yang juga tertuang dalam Komunike Bersama yang dirilis pasca acara.
Selain kesepakatan untuk mempercepat perundingan, Kim juga mencatat kemajuan lain dalam proses negosiasi yaitu diselesaikannya pembacaan kedua draf negosiasi CoC tunggal, yang kemudian akan dilanjutkan dengan proses berikutnya.
Dia menjelaskan bahwa dalam proses negosiasi, ASEAN berdiskusi dalam dua lapisan yaitu pertama, di antara para negara anggota dan kedua, di antara ASEAN dengan China.
Lebih lanjut Kim mengatakan bahwa saat ini dilaksanakan lebih banyak pertemuan di tingkat kelompok kerja terutama untuk membahas isu-isu yang masih menjadi perhatian bersama.
“Jadi negara-negara ASEAN akan memimpin dalam negosiasi, dan tentu saja kepemimpinannya bergilir.
Tahun ini, Indonesia memimpin kemitraan ASEAN-China, termasuk negosiasi DoC (Deklarasi Perilaku Para Pihak) dan juga CoC,” ujar dia.
DoC, yang ditandatangani oleh ASEAN dan China pada 2002, merupakan perjanjian tidak mengikat yang menguraikan prinsip-prinsip penyelesaian sengketa secara damai di LCS.
DoC meminta para pihak untuk menahan diri dari aktivitas-aktivitas yang dapat mengancam atau mengerahkan pasukan, menyelesaikan perselisihan secara damai melalui dialog dan konsultasi, dan menghormati kebebasan berlayar dan terbang.
Penyusunan DoC menjadi pintu masuk untuk membuat suatu dokumen pedoman tata perilaku yang berkekuatan hukum di LCS.
CoC nantinya menjadi kerangka kerja yang mengikat untuk menyelesaikan sengketa di perairan yang disengketakan itu.
“Jadi sekali lagi, ada komitmen yang kuat dari ketua dan negara-negara anggota ASEAN serta dari China untuk bekerja sama, tentunya secara cepat karena kita ingin segera mengimplementasikan CoC,” tutur Kim.
Meskipun telah diadopsi dalam Pertemuan Menlu ASEAN dan Direktur Komite Urusan Luar Negeri Komite Sentral Partai Komunis China Wang Yi di Jakarta pada 13 Juli lalu, rincian soal kesepakatan pedoman percepatan negosiasi CoC tidak dirilis kepada publik.
Menlu Indonesia Retno Marsudi dalam pernyataannya menilai kesepakatan itu menjadi tonggak penting dalam hubungan ASEAN-China.
Pencapaian tersebut harus menjadi momentum positif untuk memperkuat kemitraan yang memajukan paradigma inklusivitas dan keterbukaan, menghormati hukum internasional termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, serta mendorong tradisi dialog dan kolaborasi.
LCS adalah jalur perairan penting yang menjadi rute perdagangan internasional senilai tiga triliun dolar AS (sekitar Rp45 kuadriliun) setiap tahunnya.
Jalur itu diyakini memiliki potensi energi seperti mineral dan cadangan minyak dan gas yang kaya sehingga tak heran banyak pihak yang memperebutkan wilayah tersebut.
China mengklaim hampir 80 persen LCS dengan pengakuan sembilan garis putus-putus pada peta yang membentang lebih dari 1.500 km dari daratannya hingga memotong zona ekonomi eksklusif (ZEE) Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia.
Namun, Pengadilan Arbitrase Internasional pada 2016 menolak klaim teritorial China atas LCS karena tidak memiliki dasar hukum.
Meski demikian, keputusan tersebut tak lantas menghentikan China untuk terus melakukan aktivitas di LCS, termasuk membangun pulau-pulau reklamasi dan berbagai aktivitas lain yang disebut melanggar kedaulatan wilayah negara lain, yang membuat hubungan Beijing dan negara-negara ASEAN memanas.