Sudah hampir enam bulan sejak Taliban mengambilalih ibu kota Afghanistan, Kabul, pada 15 Agustus 2021.
Pada bulan-bulan sejak penarikan pasukan Amerika Serikat (AS) dari Afghanistan, negara tetangga, China, telah menaruh minat besar pada nasib negara di Asia Tengah itu.
Ketertarikan itu, pada kenyataannya, mendahului pengambilalihan Kabul oleh Taliban.
Pada akhir Juli 2021, Menteri Luar Negeri China Wang Yi dan delegasi Taliban yang beranggotakan sembilan orang bertemu di kota Tianjin, China utara.
Pertemuan itu, kata beberapa analis pada saat itu, menggarisbawahi hubungan yang menghangat antara Beijing dengan kelompok Islamis itu dan pengaruh Taliban yang tumbuh di panggung global.
Selain itu, pada Oktober lalu, Menteri Luar Negeri Wang berbicara tentang harapan China untuk masa depan Afghanistan setelah dia bertemu dengan perwakilan pemerintah sementara Taliban di Doha, Qatar, di mana kedua pihak “memutuskan untuk membentuk mekanisme tingkat kerja.” Wang menyampaikan berbagai harapan, termasuk di dalamnya adalah membangun struktur politik yang lebih inklusif di mana semua kelompok etnis dan faksi berperan; menerapkan kebijakan luar negeri dan dalam negeri yang lebih moderat, termasuk perlindungan hak-hak perempuan; “memutuskan dengan jelas hubungan dengan semua kekuatan teroris, termasuk ISIS dan Gerakan Islam Turkestan Timur”; dan mengupayakan kebijakan luar negeri yang damai, terutama dengan negara-negara tetangga.
Penunjukan duta besar baru Taliban untuk Beijing pada bulan ini mencerminkan pragmatisme oleh para pemimpin kelompok Islamis itu, yang melihat China sebagai mitra penting, kata Raffaello Pantucci, peneliti senior di Fakultas Studi Internasional S.
Rajaratnam di Singapura kepada VOA.
Setelah Taliban menunjuk duta besarnya untuk Beijing, mantan duta besar Afghanistan untuk China, Javid Ahmad Qaem, mengundurkan diri dari jabatannya melalui nota serah terima yang diposting di Twitter pada 9 Januari.