JAVAFX – Pada perdagangan valas di hari Selasa (14/1), nilai tukar rupiah terhadap greenback menguat pada pasar spot mendekati level Rp 13.650/$.
Pada perdagangan sebelumnya, $1 dibanderol Rp 13.645 di pasar spot. Rupiah menguat 0,15% dibandingkan dengan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Sebelumnya rupiah sempat menyentuh level Rp 13.630 terhadap greenback.
Membaiknya sentimen pelaku pasar membuat rupiah terus mendapat suntikan tenaga untuk menguat dan faktor pemicunya kemungkinan besar karena membaiknya hubungan AS-China menjelang kesepakatan perdagangan fase satu.
Pada pekan lalu, meredanya risiko perang antara AS vs Iran yang menaikkan minat terhadap risiko pelaku pasar, di pekan ini berakhirnya perang dagang AS dengan China yang menjadi headline utama.
Seremoni penandatanganan akan dilakukan besok hari. Delegasi China sudah berada di Washington sejak hari Senin kemarin untuk melakukan penandatanganan kesepakatan dagang. Salah satu poin kesepakatannya adalah AS bersedia untuk diskon tarif atas beberapa produk China. Sebagai imbalannya China akan membeli produk pertanian AS senilai $40 miliar hingga $50 miliar.
Keputusan untuk mengeluarkan Tiongkok dari daftar manipulator mata uang lebih cepat dari yang diperkiraan setelah Departemen Keuangan secara resmi membuat keputusan. Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Wakil Perdana Menteri China Liu He dijadwalkan dengan segera akan menandatangani perjanjian perdagangan “fase satu” pendahuluan di Washington pada hari Rabu. Cina sekarang berada dalam “daftar pemantauan” pada praktik manipulator mata uang bersama sembilan negara lain, termasuk Jerman, Italia dan Jepang.
Menteri Keuangan Steven Mnuchin dalam sebuah pernyataan menjelaskan bahwa “Departemen Keuangan telah membantu mengamankan perjanjian Fase Satu yang signifikan dengan China yang akan mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang lebih besar dan peluang bagi pekerja dan bisnis Amerika. Tiongkok telah membuat komitmen yang dapat ditegakkan untuk menahan diri dari devaluasi kompetitif, sembari mempromosikan transparansi dan akuntabilitas.”
Langkah Departemen Keuangan pada Agustus lalu untuk menyebut Cina sebagai manipulator meningkatkan ketegangan dalam perang dagang dan merupakan penunjukan formal pertama sejak pemerintahan Presiden Bill Clinton. Itu terjadi ketika yuan Tiongkok melemah melebihi 7 yuan terhadap greenback untuk pertama kalinya sejak 2008.
Kabar penandatanganan kesepakatan dagang antara AS-China membuat harga emas goyah. Harga emas mengalami koreksi, ketika ada harapan baik menyongsong kembali pulihnya perekonomian setelah sempat tertekan akibat perang dagang.
Perang dagang kedua negara telah membuat perekonomian global melambat. Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF) pada pertengahan Oktober lalu memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3% di tahun 2019, dibandingkan proyeksi yang diberikan pada bulan Juli sebesar 3,2%. Proyeksi tersebut merupakan yang terendah dalam satu dekade terakhir.