Petugas keamanan yang berjaga di dalam KTT ASEAN di Jakarta pada Rabu (6/9), berusaha menghalangi reporter Gedung Putih untuk meliput pertemuan puncak antara Amerika Serikat (AS) dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) itu.
Sejumlah petugas keamanan tersebut tersebut mengepung Patsy Widakuswara, seorang warga negara AS keturunan Indonesia yang juga menjabat sebagai kepala biro Gedung Putih VOA.
Ia hadir dalam acara itu sebagai reporter media cetak dan radio AS yang meliput KTT ASEAN.
Ketika para wartawan digiring keluar usai pertemuan antara Wakil Presiden AS Kamala Harris dan Presiden Joko Widodo, Patsy melontarkan dua pertanyaan — kepada Harris mengenai apakah AS hampir mencapai kesepakatan terkait nikel dengan Indonesia, dan, dalam bahasa Indonesia, kepada Jokowi tentang apakah dia kecewa karena Presiden AS Joe Biden tidak hadir di KTT tersebut.
Sejumlah pejabat di Tanah Air kemudian menghalangi Widakuswara secara fisik, ketika pejabat dari kantor wakil presiden AS mencoba berunding dengan pihak berwenang Indonesia.
“Situasinya tegang, tapi saya tidak merasa cemas atau panik atau semacamnya, karena saya tahu saya hanya menjalankan tugas saya,” kata Patsy kepada VOA.
”Dan saya juga tahu bahwa kantor Wakil Presiden akan mendukung saya.
Saya hadapi situasi tersebut.” Di luar, Patsy dikelilingi oleh sejumlah petugas keamanan, yang menyuruhnya pergi karena dia disebut telah berteriak.
Para petugas itu juga melarang Patsy mengikuti acara lainnya, kata sang reporter.
Dia juga menggambarkan kejadian tersebut dalam serangkaian unggahan di X, platform yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter.
“Ada saat-saat di mana berteriak tidak pantas.
Ini bukan salah satunya,” katanya.
Menurut Patsy, salah satu pejabat berkata dalam bahasa Indonesia, “Sampai kiamat datang, saya tidak akan mengizinkan dia masuk.” Sebagai reporter dalam kelompok liputan bersama, Patsy termasuk di antara sejumlah jurnalis yang dipilih untuk meliput acara tersebut dan berbagi pengamatan mereka dengan korps media lainnya yang tidak hadir.
Patsy mengaku khawatir jika pejabat Indonesia tetap mengadangnya, ia tidak bisa mengirimkan laporan gabungan ke sesama wartawan.
Namun para pejabat AS membela Patsy dalam insiden tersebut.
“Merupakan suatu kebanggan bagi kami sebagai diplomat dan pegawai sipil Amerika, untuk mendukung kebebasan pers di luar negeri, dan sebagai bagian dari itu, untuk memberikan akses kepada korps pers Gedung Putih yang sedang bepergian,” kata Dean Lieberman, Penasihat Keamanan Nasional Wakil Presiden, dalam sebuah pernyataan kepada VOA.
Para pejabat AS terus menekan pihak Indonesia untuk mengizinkan Patsy masuk, dengan mengatakan bahwa Harris tidak akan memasuki ruang pertemuan KTT sampai seluruh jurnalis, termasuk Patsy, diizinkan masuk.
“Wartawan tersebut sangat penting untuk berada di sana karena mereka tidak hanya mewakili organisasi mereka sendiri, mereka juga mewakili banyak organisasi berita,” kata Steve Herman, Kepala Koresponden Nasional VOA dan mantan kepala biro Gedung Putih, tentang peran wartawan pool.
Setelah Duta Besar AS untuk Indonesi Sung Kim berusaha mengurai kebuntuan tersebut, para pejabat Indonesia akhirnya mengizinkan Patsy masuk ke ruangan tempat berlangsungnya KTT AS-ASEAN.
“Menjamin akses pers yang memadai tetap menjadi prioritas utama Wakil Presiden kapanpun dan di manapun kami bepergian.
Kami mungkin tidak selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan, tetapi pers yang bebas dan independen adalah prinsip inti demokrasi kami, dan kami membawanya ke mana pun kami pergi,” tambah Lieberman dalam pernyataannya.
Josh Rogin, kolumnis The Washington Post, menyaksikan kejadian tersebut, yang menurutnya tidak memberikan kesan baik bagi Jakarta.
“Tujuan utama dari pertemuan KTT AS-ASEAN adalah untuk merayakan nilai-nilai bersama, dan jika tuan rumah tidak membela nilai-nilai tersebut dan mewakili nilai-nilai tersebut, hal itu akan melemahkan keseluruhan upaya tersebut,” kata Rogin kepada VOA.
Wartawan lain menyuarakan dukungan mereka terhadap Patsy melalui media sosial.
“Sungguh melegakan melihat pemerintahan saat ini memahami dan mempertahankan sistem pelaporan kumpulan, dibandingkan dengan beberapa situasi yang terjadi pada pemerintahan sebelumnya,” tambah Herman, anggota Asosiasi Koresponden Gedung Putih.
Dalam pernyataannya kepada VOA, Rosan Roeslani, Duta Besar Indonesia untuk AS, mengatakan, “Kami menyesali insiden yang melibatkan Patsy Widakuswara dan memahami kekhawatiran yang muncul, sekaligus menekankan komitmen kami terhadap kebebasan pers.” Dia menambahkan bahwa acara yang dimaksud adalah sesi pemotrean bersama, bukan konferensi pers, dan bahwa “teriakan dan suara keras menimbulkan kekhawatiran pihak keamanan.” Patsy membantah keterangan tersebut.
“Terdapat sejumlah pertemuan bilateral antara Widodo dan Biden di mana kami semua meneriakkan pertanyaan, dan tidak ada yang ditegur,” katanya.
“Sebagai jurnalis Amerika, kami mempunyai hak untuk mempertanyakan para pemimpin ketika kami bertemu mereka.” Dalam pernyataannya, Roeslani mengatakan, “Kami tetap berdedikasi untuk menegakkan kebebasan pers dan akan berupaya mengklarifikasi dan mematuhi protokol khusus acara untuk mencegah kesalahpahaman atau gangguan di masa depan.” Didier Saugy, Direktur Eksekutif National Press Club di Washington, mengatakan insiden tersebut tidak dapat diterima.
“Setiap orang harus mempunyai kebebasan untuk bertanya,” katanya kepada VOA.
Dalam pernyataannya kepada VOA, juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan bahwa lembaga tersebut prihatin dengan kejadian itu dan akan menghubungi pemerintah Indonesia untuk mengatasinya.
“Pers yang bebas dan independen adalah lembaga inti dari demokrasi yang sehat dan sangat penting untuk memastikan para pemilih dapat membuat keputusan yang tepat dan meminta pertanggungjawaban pejabat pemerintah,” kata juru bicara tersebut.
“Amerika Serikat mengutuk ancaman, pelecehan, dan kekerasan yang menargetkan jurnalis dan pekerja media.” Kementerian Luar Negeri Indonesia tidak segera membalas email VOA yang meminta komentar.
Patsy mengaku berterima kasih atas dukungan tim wakil presiden dan staf Kedutaan Besar AS.
Lahir dan besar di Indonesia, Patsy memulai kariernya sebagai jurnalis di dalam negeri.
Kembali ke kampung halamannya dengan menumpang Air Force Two bersama Harris untuk meliput KTT tersebut “adalah momen imigran yang membanggakan bagi saya,” kata Patsy, yang kini memiliki kewarganegaraan AS, kepada VOA.
“Saya sangat bangga dengan warisan Indonesia saya.” Dari 180 negara, Indonesia berada di peringkat 108 dalam hal kebebasan pers, menurut organisasi Reporters Without Borders.
Kebebasan pers di Indonesia semakin terancam dalam beberapa tahun terakhir.
“Saya akan selalu bangga menjadi orang Indonesia sama seperti saya bangga sebagai warga negara Amerika.
Namun, saya tahu tradisi kebebasan pers mana yang saya sukai,” tulis Patsy dalam unggahannya di media sosial.
Insiden itu sedikit menghambat perjalanan Patsy, katanya kepada VOA.
“Benar-benar membuat saya sedih bahwa inilah cara Indonesia memperlakukan pers,” katanya.
“Dan saya juga tidak suka menjadi berita.
Saya rasa tidak ada reporter yang suka menjadi berita.”