Pejabat AS Kembali Kunjungi Taiwan, Menantang China yang Marah

0
61

Seorang senator AS yang duduk dalam Komite Perdagangan dan Angkatan Bersenjata tiba di Taiwan hari Kamis (25/8).

Ini ketiga kalinya pejabat Amerika berkunjung dalam sebulan terakhir, menentang China yang menekan agar lawatan semacam itu tidak dilakukan.

China, yang mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya meskipun ditentang kuat pemerintah Taipei yang dipilih secara demokratis, menggelar latihan militer di dekat pulau itu setelah Ketua DPR AS Nancy Pelosi berkunjung pada awal Agustus.

Senator Masrha Blackburn tiba di ibu kota Taiwan, Taipei, hari Kamis, dengan menumpang pesawat militer AS, seperti terlihat dalam tayangan langsung televisi di bandara Songshan.

Kantor Berita Pusat resmi Taiwan mengatakan Senator Blackburn akan bertemu dengan Presiden Tsai Ing-wen hari Jumat, 26 Agustus.

Balckburn, politikus Partai Republik dari negara bagian Tennessee, awal Agustus lalu menyatakan dukungannya terhadap kunjungan Pelosi ke Taiwan.

“Kita harus berdiri bersama Taiwan, dan saya memuji Pelosi karena tidak tunduk kepada Biden maupun Partai Komunis China,” kata Blackburn melalui cuitannya di Twitter kala itu.

Lawatan Pelosi memicu amarah China, yang menanggapinya dengan melakukan uji peluncuran rudal balistik di atas Taipeh untuk pertama kalinya, dan dengan mengabaikan beberapa jalur dialog dengan Washington, termasuk pembicaraan mengenai kegiatan militer penting serta urusan perubahan iklim.

Lima anggota Kongres AS lantas menyusul Pelosi, melakukan kunjungan ke Taiwan seminggu kemudian.

Militer China menanggapinya dengan menggelar lebih banyak latihan militer di dekat Taiwan.

Amerika Serikat sendiri tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Taiwan, namun terikat secara hukum untuk menyediakan sarana pertahanan diri bagi pulau tersebut.

Sementara itu, China juga tidak pernah mengesampingkan opsi pengerahan kekuatan untuk menundukkan Taiwan.

Pemerintah Taiwan mengatakan bahwa Republik Rakyat China tidak pernah memerintah pulau itu dan tidak berhak mengklaimnya.

Mereka menegaskan bahwa hanya 23 juta penduduk pulau itulah yang dapat menentukan masa depan mereka.