PBB: Perlakuan Taliban pada perempuan mungkin kejahatan kemanusiaan

0
75

Sejumlah pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan bahwa perlakuan Taliban terhadap perempuan dan anak perempuan, termasuk melarang mereka mengunjungi taman, pusat kebugaran, sekolah dan universitas, bisa menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan.

Berdasarkan penilaian oleh Pelapor Khusus PBB untuk Afghanistan Richard Bennett dan sembilan pakar PBB lainnya, perlakuan terhadap perempuan dan anak perempuan dapat dianggap sebagai “penganiayaan gender” di bawah Statuta Roma yang mengikat Afghanistan sebagai salah satu pihak.

Para ahli PBB itu mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pengurungan perempuan di rumah mereka “sama saja dengan pemenjaraan”.

Masih menurut PBB, hal itu kemungkinan akan mengarah pada peningkatan kekerasan dalam rumah tangga dan masalah kesehatan mental.

Para pakar mengacu pada penangkapan aktivis perempuan Zarifa Yaqobi bulan ini dan empat rekan laki-lakinya.

Mereka masih di dalam tahanan, kata para ahli.

Juru bicara kementerian luar negeri Taliban Abdul Qahar Balkhi mengatakan pemerintahnya menganggap pernyataan PBB dan pejabat Barat lainnya sebagai penghinaan terhadap Islam dan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip internasional.

“Hukuman kolektif saat ini terhadap warga Afghanistan yang tidak bersalah oleh rezim sanksi PBB semuanya atas nama hak-hak perempuan dan kesetaraan sama dengan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata Balkhi, menanggapi laporan PBB itu.

Taliban mengambil alih pemerintahan yang didukung Barat pada Agustus 2021.

Mereka mengatakan menghormati hak-hak perempuan sesuai interpretasi mereka terhadap hukum Islam.

Pemerintah Barat telah mengatakan bahwa Taliban perlu mengubah kebijakannya terkait hak-hak perempuan, termasuk indikasi bahwa mereka akan membuka sekolah menengah khusus perempuan.

Itu adalah salah satu syarat agar pemerintah Taliban diakui.

Secara terpisah, juru bicara kantor hak asasi manusia PBB Ravina Shamdasani menyerukan otoritas Taliban untuk segera menghentikan penerapan hukuman cambuk di depan publik.

Shamdasani mengatakan kantornya telah mendokumentasikan banyak insiden seperti itu bulan ini, termasuk seorang wanita dan seorang pria yang masing-masing dicambuk 39 kali karena kedapatan berduaan di luar ikatan pernikahan.