Dewan Keamanan PBB, pada Kamis (17/8), menuduh Korea Utara menghabiskan banyak anggaran untuk program senjata nuklir di saat rakyatnya kelaparan dan kekurangan kebutuhan pokok.
Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Volker Turk mengatakan kepada DK PBB bahwa masyarakat Republik Demokratik Rakyat Korea (DPRK) – nama resmi Korea Utara – mengalami represi politik yang semakin parah, kondisi perekonomian yang memburuk, dan pelanggaran HAM secara sistematis dan meluas.
“Banyak di antara pelanggaran yang saya maksud berasal langsung dari, atau mendukung, peningkatan militerisasi DPRK,” ujarnya.
Ia menyebut meluasnya penggunaan tenaga kerja paksa, termasuk oleh anak-anak, adalah demi “mendukung aparat militer negara dan kemampuannya membuat senjata.” Sidang yang digagas oleh Amerika Serikat itu merupakan sidang DK PBB pertama dalam enam tahun yang membahas situasi HAM di Korea Utara.
Sidang itu juga digelar ketika Pyongyang telah mempercepat pengujian rudal berkemampuan nuklirnya selama setahun terakhir, meningkatkan ketegangan di seantero Asia Timur.
Dengan dikelilingi diplomat lebih dari 50 negara, melalui sebuah pernyataan bersama, Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield mengecam “pelanggaran dan pelecehan hak asasi manusia” yang disebutnya “berhubungan erat dengan senjata pemusnah massal dan pengembangan rudal balistik DPRK.” Elizabeth Salmon, pelapor khusus Kantor HAM PBB di Korea Utara, mengatakan bahwa penutupan perbatasan negara yang berkepanjangan, akibat sanksi global, telah meningkatkan kesengsaraan rakyat Korea Utara, termasuk kekurangan pangan.
“Konflik yang membeku digunakan untuk membenarkan berlanjutnya militerisasi di dalam DPRK dengan dampak yang menghancurkan rakyatnya sendiri,” ujarnya.
Salmon mengatakan, kebijakan Pyongyang adalah memprioritaskan sumber daya untuk kepentingan militer.
“Pimpinan DPRK terus meminta warganya untuk mengencangkan ikat pinggang, agar sumber daya yang ada bisa digunakan untuk mendanai program nuklir dan rudal,” ungkapnya.
Ilhyeok Kim, pembelot Korea Utara, mengatakan kepada dewan bahwa ia telah dipaksa pada usia muda untuk bekerja di ladang tanpa kompensasi, sementara semua biji-bijian yang mereka tanam digunakan untuk militer.
“Pemerintah mengubah darah dan keringat kami menjadi kehidupan mewah bagi para pemimpin, serta menjadi rudal yang meledakkan kerja keras kami ke angkasa,” ujarnya.
“Uang yang dihabiskan hanya untuk satu rudal dapat memberi makan kami selama tiga bulan,” tambahnya.
Dalam sidang itu, sebagian besar anggota dewan mengecam kondisi kehidupan dan HAM di Korea Utara yang memburuk, yang disebabkan oleh sanksi keras dewan keamanan dan negara-negara besar dunia atas program senjata nuklir negara itu.
Meskipun tidak ada delegasi Pyongyang di DK PBB, perwakilan China dan Rusia mengatakan bahwa sidang itu bukanlah tempat untuk meninjau masalah hak asasi manusia Korea Utara.
Dmitry Polyansky, wakil duta besar Rusia untuk PBB, mengecam apa yang disebutnya sebagai “upaya sinis dan munafik AS dan sekutunya untuk memajukan agenda politik mereka sendiri.” Kedua negara mengatakan, diskusi itu tidak konstruktif dan tidak menawarkan solusi untuk menurunkan ketegangan strategis di kawasan.