Sementara orang-orang di California berduka atas dua penembakan massal yang terjadi hanya selang beberapa hari, Presiden Joe Biden mendukung langkah-langkah pengendalian senjata yang diperkenalkan Dianne Feinstein.
Senator Demokrat dari California itu mengusulkan diperbaruinya larangan senjata serbu tahun 1994.
Namun, seperti dilaporkan Kepala Biro Gedung Putih Patsy Widakuswara, dengan fraksi Republik yang menguasai DPR, dan Mahkamah Agung yang cenderung sangat konservatif, lanskap hukum untuk semakin mengendalikan senjata di Amerika terlihat suram.
Dua hari setelah seorang laki-laki bersenjata menewaskan sedikitnya 11 orang di Monterey Park ketika komunitas Asia-Amerika di kota itu merayakan Tahun Baru Imlek, penembakan terjadi di dua lokasi di Half Moon Bay, juga di negara bagian California.
Sedikitnya tujuh orang tewas.
“Kami serius tentang larangan ini dan memimpin negara ini untuk melarang senjata serbu, melarang magasin berkapasitas besar, menerapkan pemeriksaan latar belakang untuk pembelian amunisi, memberlakukan masa tunggu, dan melaksanakan undang-undang yang tidak memungkinkan orang dengan riwayat kriminal untuk memiliki senjata api.
Semua upaya yang menyelamatkan nyawa.
Tetapi pemerintah federal belum melakukannya,” kata Gubernur California Gavin Newsom.
California adalah satu dari 10 negara bagian yang melarang penjualan atau kepemilikan senjata serbu untuk militer.
Senator California dari fraksi Demokrat, Dianne Feinstein, memperkenalkan undang-undang untuk menerapkan kembali larangan federal terhadap senjata serbu dan magasin berkapasitas besar serta menaikkan usia minimum untuk membeli senjata semacam itu menjadi 21 tahun.
Ketika menjadi senator, Joe Biden memperjuangkan larangan itu pada 1994, tetapi larangan itu berakhir pada 2004.
Juru bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre mengatakan, “Terakhir kali ketika larangan senjata serbu diberlakukan, berkat kepemimpinan presiden dan Senator Feinstein, penembakan massal benar-benar turun.
Setelah Partai Republik membiarkan larangan itu berakhir, jumlah penembakan massal menjadi tiga kali lipat.” Fraksi Republik kini menguasai DPR.
Jadi, kecil kemungkinan Rancangan Undang-Undang yang melarang senjata serbu akan disahkan.
Jajak pendapat menunjukkan sebagian besar pemilih Partai Republik menentang dibatasinya hak untuk memiliki senjata api yang didukung Amandemen Kedua.
Ditambah dengan Mahkamah Agung yang cenderung konservatif, yang pada Juni lalu membatalkan undang-undang keamanan senjata New York, negara bagian-negara bagian lain mungkin merasa langkah mereka dalam membatasi kepemilikan senjata api juga terancam.
Berbicara kepada VOA melalui Skype, Jonathan Metzl, sosiolog yang berfokus pada kebijakan senjata api di Vanderbilt University mengatakan, “Tidak ada yang benar-benar akan terjadi sampai kita membuat undang-undang, tidak hanya untuk senjata api biasa, yang penting, tetapi sesungguhnya Mahkamah Agung yang merongrong gerakan keselamatan senjata api saat ini dan dengan cara yang benar-benar menimbulkan malapetaka.” Dalam tahun ini saja, sudah terjadi 40 penembakan massal.
Karena Kongres tidak bertindak, Biden mempertimbangkan untuk mengeluarkan keputusan guna mengurangi kekerasan dengan menggunakan senjata api.
Tetapi keputusan itu bisa dicabut penggantinya.
Juni lalu, Biden menandatangani RUU keamanan senjata yang mendapat dukungan bipartisan, menjadi undang-undang.
Undang-Undang itu memperketat pemeriksaan latar belakang bagi pembeli senjata di bawah usia 21 tahun dan memberi insentif kepada negara bagian yang mengesahkan apa yang disebut red flag laws.
Undang-undang tersebut tidak memungkinkan orang yang dianggap sebagai ancaman bagi dirinya atau bagi orang lain, untuk memiliki senjata api.