Harga minyak naik pada hari Selasa setelah melemah dolar AS mendukung komoditas. Minyak juga diuntungkan dengan ekspektasi berkurangnya persediaan minyak mentah AS, pengguna minyak terbesar di dunia. Namun peningkatan kasus virus korona di Asia hambat pergerakan minyak.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Juni naik 54 sen, atau 0,8% menjadi $67,59 per barel. Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Mei naik 53 sen, atau 0,8% menjadi $63,91 barel. Kontrak Mei akan berakhir pada Selasa pekan depan. Sementara kontrak Juni yang lebih aktif berada di $63,93, naik 0,8%, atau 50 sen.
Indeks dolar merosot ke level terendah enam minggu terhadap mata uang utama menyusul penurunan imbal hasil Treasury AS pekan lalu dan masih mendekati level terendah di 91,055 pada hari Selasa. Pembeli yang menggunakan mata uang lain membayar lebih sedikit untuk minyak dalam denominasi dolar ketika greenback melemah.
Juga mendukung harga, persediaan minyak mentah dan minyak distilasi AS diperkirakan berkurang minggu lalu. Sementara, persediaan bensin kemungkinan bertambah, jajak pendapat Reuters awal menunjukkan pada hari Senin. Dimana jajak pendapat ini dilakukan menjelang laporan dari kelompok industri American Petroleum Institute (API) yang dijadwalkan pada hari Selasa dan Administrasi Informasi Energi (EIA), badan statistik dari Departemen Energi AS, pada hari Rabu.
National Oil Corp (NOC) Libya mengumumkan ‘force majeure’ pada hari Senin atas ekspor dari pelabuhan Hariga dan mengatakan pihaknya dapat memperluas langkah itu ke fasilitas lain karena perselisihan anggaran dengan bank sentral negara itu. Gangguan tersebut dapat memangkas produksi minyak Libya sebesar 280.000 barel per hari (bph), menjatuhkan produksi di bawah 1 juta barel per hari untuk pertama kalinya sejak Oktober, kata ING.
Ekspor minyak mentah Arab Saudi turun ke level terendah dalam delapan bulan pada bulan Februari, kata Joint Organisation Data Initiative (JODI) pada hari Senin, menggambarkan komitmen eksportir minyak terbesar dunia pada batas produksi sukarela untuk mendukung harga minyak.
Namun, melonjaknya kasus COVID-19 di India, importir dan konsumen minyak terbesar ketiga di dunia, mengurangi optimisme kelanjutan pemulihan permintaan bahan bakar global.