Menlu AS Ingatkan Ancaman Kebebasan Pers di Negara-negara Amerika

0
62

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Anthony Blinken pada Selasa (7/6) mengkritik upaya untuk menekan kebebasan pers di beberapa negara Amerika Latin dan mengatakan AS berupaya meningkatkan perlindungan media di kawasan yang mencatat terjadinya pembunuhan jurnalis terbanyak.

Berbicara pada acara kebebasan pers menjelang KTT Amerika, pertemuan regional yang bertujuan untuk mengatasi masalah ekonomi dan migrasi, Blinken mengatakan pemerintah di kawasan itu menggunakan undang-undang dan pengawasan untuk menghentikan kebebasan pers dan mengintimidasi wartawan.

Dia telah memilih Kuba, Nikaragua dan Venezuela, tiga negara yang dikeluarkan Presiden Joe Biden dari KTT Amerika karena mereka tidak demokratis, dengan mengatakan tindakan jurnalisme independen merupakan kejahatan di sana.

“Tidak ada wilayah di dunia yang lebih berbahaya bagi jurnalis,” kata Blinken, seraya menambahkan bahwa setidaknya 17 pekerja media telah terbunuh pada tahun ini di Belahan Barat, mengutip laporan pengamatan UNESCO tentang jurnalis yang terbunuh.

Akhir pekan lalu, jurnalis Inggris Dom Phillips dan pakar adat Brazil Bruno Pereira hilang di hutan Amazon, Brazil, saat melakukan liputan di wilayah terpencil dan tanpa hukum di lokasi hutan hujan yang dekat dengan perbatasan Peru itu.

“Kejahatan seperti ini tetap ada karena orang-orang yang memerintahkan dan melaksanakannya jarang dimintai pertanggungjawaban.

Itu mengirimkan pesan bahwa serangan ini dapat berlanjut tanpa hukuman,” kata Blinken.

Dia juga mengkritik El Salvador.

“Pemerintah menggunakan undang-undang untuk menghentikan kebebasan berekspresi, seperti yang kita lihat dalam amandemen baru-baru ini yang diadopsi El Salvador pada bulan Maret dan April tahun ini,” kata Blinken.

Pada Maret, El Salvador mencatat adanya 62 pembunuhan dalam satu hari, tragedi yang paling berdarah sejak berakhirnya perang saudara pada 1992.

Sebagai tanggapan, Majelis Legislatif yang didominasi oleh partai populis sayap kanan Presiden Nayib Bukele menyatakan keadaan darurat, menangguhkan hak konstitusional warga negara.