Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mendesak sikap “tenang” menjelang lawatannya ke Israel dan Tepi Barat, menyusul peningkatan kekerasan Israel-Palestina yang merisaukan dalam beberapa hari belakangan.
Blinken siap mengadakan pembicaraan dengan PM Israel Benjamin Netanyahu dan pemimpin Palestina Mahmoud Abbas dengan tema utama percakapan adalah “deeskalasi,” kata para pejabat AS.
Ia dijadwalkan tiba di Israel hanya sehari setelah tim keamanan kabinet Netanyahu mengumumkan serangkaian tindakan hukuman terhadap warga Palestina sebagai tanggapan atas penembakan maut akhir pekan lalu, di mana para penyerang Palestina menewaskan tujuh warga Israel dan melukai lima lainnya di Yerusalem.
Penembakan tersebut menyusul penggerebekan maut oleh Israel di Tepi Barat pada Kamis lalu yang menewaskan 10 orang Palestina, kebanyakan militan.
“Saya pikir kita telah lihat serangan teroris yang mengerikan dalam beberapa hari terakhir yang kami kutuk dan sesalkan,” kata Blinken dalam wawancara dengan jaringan berita Saudi Al Arabiya dalam lawatannya ke Mesir.
“Kami juga melihat hilangnya nyawa warga sipil yang sangat merisaukan.
Dan yang paling penting dalam jangka dekat adalah berusaha untuk tenang.” Tindakan diplomatik Blinken akan dimulai pada Senin (30/1) setelah ia menyelesaikan kunjungan singkat ke Mesir yang hampir seluruhnya dibayangi oleh memburuknya situasi keamanan di Israel dan Tepi Barat.
Sementara itu, Blinken menegaskan kembali bahwa seluruh opsi “tetap tersedia” sewaktu menghadapi kekhawatiran mengenai Iran.
Iran memiliki cukup banyak uranium diperkaya berkadar tinggi untuk membuat “beberapa” senjata nuklir jika negara itu memilih demikian, kata pejabat nuklir PBB pekan lalu.
Hal itu terjadi setelah pembicaraan antara Iran dan Barat untuk memulihkan perjanjian nuklir 2015 berakhir pada bulan Agustus.
Blinken mengatakan opsi yang diinginkan AS adalah penyelesaian isu-isu dengan Iran secara diplomatis, tetapi ia menekankan bahwa “setiap opsi masih tersedia.” Ia juga berbicara singkat mengenai hubungan Amerika dengan Arab Saudi, yang tegang di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden.