Varian Delta virus corona yang menyebar sangat cepat telah melumpuhkan sektor manufaktur di Asia Tenggara.
Lonjakan infeksi tak cuma mengganggu pasokan global barang-barang seperti sarung tangan karet, semikonduktor, dan kendaraan SUV, tapi juga mengancam pemulihan ekonomi di kawasan itu yang nilainya mencapai 3 triliun dolar AS (sekitar Rp42.933,9 triliun).
Sejumlah survei terhadap para pabrikan pekan ini menunjukkan aktivitas bisnis di seluruh Asia Tenggara menurun drastis pada Juli.
Kondisi yang berbeda terjadi di kawasan timur laut dan barat Asia, di mana ekonomi melambat namun bisnis tetap berkembang.
Disrupsi ekonomi di Asia Tenggara disebabkan oleh varian Delta dan lambatnya vaksinasi di kawasan berpenduduk 600 juta orang itu.
Para pemimpin negara di kawasan itu berjuang mengamankan dosis vaksin dan menerapkan penguncian yang membuat pabrik-pabrik kosong tanpa pekerja.
Kondisi tersebut mengancam pertumbuhan Asia Tenggara –salah satu pasar tangguh dan berkembang di dunia– yang telah bertahan dari berbagai krisis global dalam beberapa dekade terakhir berkat reformasi ekonomi yang kuat dan kedekatan geografisnya dengan China.
Para ekonom HSBC memperingatkan tingkat vaksinasi yang rendah di Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Thailand, dan tidak jelasnya efikasi vaksin yang mereka gunakan, membawa risiko pada ekonomi mereka.
“Artinya, penduduk di negara-negara ini tetap rentan, bukan hanya terhadap wabah saat ini, tapi juga terhadap mutasi virus yang mungkin muncul di masa depan,” kata HSBC.
“Pembatasan dan pelonggaran sepertinya akan terus dilakukan, membebani prospek pertumbuhan jangka pendek.” Bagi sektor manufaktur Asia Tenggara yang kompetitif berkat ongkos pekerja yang murah dan akses ke bahan baku, dampak wabah baru terhadap pasokan tenaga kerja telah mengganggu proses produksi.
Di Thailand, pengekspor otomotif terbesar keempat di Asia dan basis produksi merek-merek mobil global, Toyota Motor Corp menangguhkan produksi tiga pabriknya pada Juli akibat kelangkaan suku cadang yang disebabkan oleh pandemi.Permintaan Tinggi, Pasokan Rendah Siam Agro-Food Industry, pengekspor buah olahan Thailand, sangat bergantung pada pekerja migran.
Mereka hanya mampu mengisi 400 dari 550 posisi ketika para pekerja pulang ke negara mereka dan tak bisa kembali akibat penutupan perbatasan.
“Ada 350 ton buah per hari, tapi kini kami hanya mampu memetik 250 ton akibat kekurangan pekerja yang mengolah,” kata Ghanyapad Tantipipatpong, presiden perusahaan itu.
“Permintaan sangat tinggi di pasar ekspor, seperti Amerika Serikat, pasar utama kami.
Masalah kami sekarang adalah produksi.” Di Vietnam, yang menjadi basis produksi korporasi global seperti Samsung, Foxxconn, dan Nike, perusahaan-perusahaan di selatan negara itu terpaksa mengisolasi para pekerja di pabrik pada malam hari.
Produk industri dari sejumlah kota dan provinsi di selatan, di mana pembatasan pergerakan yang ketat diterapkan sejak Juli, telah menurun tajam, kata kantor statistik pemerintah pekan lalu.
Di Malaysia, yang memasok sekitar 67 persen pasar sarung tangan karet global, penguncian wilayah memaksa banyak pabrikan menangguhkan produksi pada Juni dan Juli.
Pelonggaran pembatasan telah membuat 60 persen pekerja kembali ke pabrik setelah asosiasi produsen sarung tangan setempat memohon kepada pemerintah agar dibolehkan beroperasi, mengingat adanya kekhawatiran dari pembeli global.
Asosiasi tersebut kini tengah meminta izin untuk beroperasi secara penuh.
Disrupsi di Asia Tenggara telah menimbulkan kesulitan di mana-mana.
Produsen chip Jerman Infineon Technologies memprediksi kerugian senilai puluhan juta dolar akibat penutupan pabrik mereka di Malaysia.
Kelambatan produksi pada akhirnya akan mempengaruhi klien otomotif Infineon.
Daniel Bernbeck, CEO Kamar Dagang dan Industri Malaysia-Jerman, mengatakan aturan karantina ketat di Malaysia telah menyulitkan produsen teknologi tinggi, seperti pembuat chip, menyediakan keahlian teknis yang diperlukan.
Para analis memperingatkan adanya risiko yang lebih dari sekadar hantaman terhadap produksi.
Investors Service Moody mengatakan perekonomian di Asia-Pasifik yang memiliki “struktur ekonomi terpusat” dan institusi yang lemah akan terpukul paling keras.
“Mereka adalah negara-negara berpendapatan rendah-menengah dengan potensi risiko sosial yang tinggi,” kata Moody.
“Di beberapa negara, beban utang yang tinggi membatasi ruang fiskal pemerintah untuk bertahan dari pandemi.”