Sejak beberapa dekade lampau, di Amerika Serikat, lazim dipahami bahwa mereka yang mengaku sebagai pendukung konservatif biasanya akan mendukung Partai Republik, sedangkan kalangan liberal pada umumnya akan memilih Partai Demokrat.
Peraih Nobel Ekonomi asal AS Paul Krugman, dalam bukunya “The Conscience of Liberal” (2007) menyatakan bahwa sejak 1980-an, pakar politik mulai mendokumentasikan naiknya polarisasi politik dalam spektrum kiri-kanan, sehingga semakin memungkinkan untuk menyebut “Demokrat” sebagai sinonim dari “liberal”, serta “Republik” sebagai “konservatif”.
Menurut kamus bahasa Inggris keluaran Oxford, ada dua makna untuk penganut konservatif, yaitu pertama, seseorang yang tidak menyukai perubahan dan lebih berpegang kepada nilai-nilai tradisional.
Sementara makna kedua adalah seseorang yang lebih berpihak kepada perusahaan swasta atau kepemilikan pribadi serta berpegang kepada gagasan yang tradisional dalam lingkup sosial.
Makna yang terakhir juga dapat disebut mencakup pula mereka yang mengaku sebagai penganut “libertarianisme”, yang memiliki arti berbeda dari “liberal”.
Seorang komentator politik konservatif Larry Elder, dalam bukunya “The Ten Things You Cant Say in America” (2001) menyatakan bahwa kaum libertarian percaya dengan moto bahwa “pemerintah yang memerintah paling sedikit, adalah pemerintah yang paling baik”.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kaum konservatif terdiri dari mereka yang teguh kepada nilai-nilai budaya tradisional, termasuk keluarga dan agama di suatu masyarakat, hingga mereka yang lebih berpihak kepada pentingnya kebijakan pemerintah tidak banyak mengatur berbagai hal, terutama dalam bidang perekonomian di mana peran swasta dinilai lebih baik dibandingkan dengan campur tangan berlebihan dari negara.
Sementara komentator politik liberal Joe Conason dalam bukunya “Big Lies” (2003) menyatakan bahwa kedua kelompok konservatif itu terangkum dalam pidato Presiden AS George W Bush (2001-2009) yang menyebutkan, “Saya adalah seorang konservatif fiskal, dan seorang konservatif keluarga”.
George W Bush merupakan salah satu presiden yang banyak dihormati oleh kalangan konservatif di AS.
Untuk itu, seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai kandidat presiden dari Partai Republik AS, maka sudah menjadi kelaziman untuk dapat diterima baik oleh kelompok konservatif tradisionalis, maupun bagi konservatif di bidang ekonomi.
Pada tahun 2023 ini, Partai Republik masih belum memiliki calon tunggal yang diharapkan bisa melawan petahana Presiden Joe Biden yang berasal dari Partai Demokrat.
Biden kemungkinan besar akan dicalonkan kembali sebagai capres dari Demokrat untuk Pilpres 2024.Republik terbelah Pendukung partai Republik saat ini disebut terbelah dukungannya, antara mantan Presiden AS Donald Trump dengan Gubernur Florida Ron DeSantis.
Berdasarkan survei yang dirilis Reuters/Ipsos pada awal April 2023, mereka yang mendukung Partai Republik ternyata sebanyak 48 persen memilih Trump sebagai kandidat presiden dan hanya 19 persen yang memilih DeSantis.
Sebulan kemudian, survei CNN/SSRS yang diumumkan pada 24 Mei, menyebut bahwa 53 persen pendukung Republik memilih Trump, sedangkan 26 persen memilih DeSantis.
Angka yang serupa juga dikeluarkan oleh situs spesialis analisis survei FiveThirtyEight, yang menyebut bahwa pada akhir Mei ini, Trump mendapat dukungan 54,2 persen, sedangkan DeSantis mendapatkan dukungan 20,9 persen dari mereka yang condong akan memilih Partai Republik pada Pemilu 2024.
Pada Rabu (31/5), DeSantis dilaporkan telah mengunjungi negara bagian Iowa untuk meluncurkan kampanyenya.
Iowa merupakan daerah yang penting karena sejak tahun 1970-an, negara bagian itu selalu menjadi yang pertama kali akan memilih calon presiden dalam masing-masing konvensi kedua partai besar di AS, baik Republik maupun Demokrat.
Dalam kampanyenya di Iowa, sebagaimana dikutip dari Kantor Berita Reuters, DeSantis menyatakan bahwa berbagai kebijakan yang dihasilkan Trump, seperti dalam soal imigrasi hingga anggaran negara, telah menjauh dari prinsip-prinsip konservatif dan telah “bergerak ke kiri dalam sejumlah isu”.
DeSantis juga mengingatkan bahwa Trump dan seluruh keluarganya pindah domisili ke Florida, saat dirinya menjadi kepala daerah di sana.
Trump sendiri dalam sejumlah kesempatan menyatakan bahwa DeSantis bukanlah lawan yang serius dan tidak akan bisa mengalahkan Joe Biden dalam Pilpres 2024.
Trump mengingatkan bahwa dirinya adalah kesempatan terbaik bagi Partai Republik untuk mengalahkan Biden.
Seorang peserta kampanye DeSantis di Iowa, Doug Krasne (70), menyatakan bahwa sebelumnya dia beberapa kali memilih Trump dalam pilpres, tetapi kali ini dia sedang mencari kandidat Republik lainnya yang layak untuk didukung.
Meski Trump terus menunjukkan keunggulan atas DeSantis, tetapi bukan tidak mungkin DeSantis dapat menyusul atau malah muncul calon ketiga yang bakal mengejutkan dalam konvensi Partai Republik untuk memilih capres.
Seperti dikabarkan Reuters pada Rabu (31/5), tidak hanya Trump dan DeSantis, sejumlah politisi lainnya, seperti mantan Wakil Presiden AS (pada era Trump) Mike Pence, serta mantan Gubernur New Jersey Chris Christie juga menyatakan ketertarikannya untuk menjadi kandidat calon presiden dari Partai Republik.
Bila memang demikian adanya, maka dipastikan bahwa suara dari konservatif yang menjadi basis utama Partai Republik, akan semakin terpecah karena semakin banyak calon yang bersedia maju untuk Pilpres mendatang.
Pertanyaannya adalah, kondisi keterbelahan Partai Republik yang banyak didukung kalangan konservatif ini, apakah menjadi berkah atau bencana bagi Presiden Joe Biden, dalam menghadapi pertarungan keduanya dalam Pilpres AS tahun depan? Bila melihat secara sekilas, maka bisa saja orang beranggapan bahwa terbelahnya suara Republik akan sangat menguntungkan Biden dan Demokrat.Penilaian publik Berdasarkan rangkuman berbagai survei yang dianalisis situs FiveThirtyEight, terungkap bahwa rata-rata tingkat penilaian publik terhadap Biden pada awal Juni adalah 54,8 persen menyatakan “disapprove” (ketidaksetujuan), dan hanya 41,1 persen yang menyatakan “approve” terhadap kinerja Biden.
Belum lagi, saat ini Presiden Biden juga sedang dihinggapi oleh beragam permasalahan, yang terdiri dari persoalan eksternal, mulai dari invasi Rusia di Ukraina hingga “perang dagang” antara AS dan China, serta persoalan internal, seperti belum adanya akhir yang jelas dari masalah plafon utang pemerintah AS.
Memang, telah terdapat kesepakatan untuk mengatasi isu plafon utang antara Biden dengan DPR AS yang dikuasai Republik.
Hanya saja, kesepakatan tersebut dinilai tidak selaras dengan janji-janji dalam kampanye yang terlontar pada Pilpres 2020, di mana Biden menjanjikan untuk membuat kalangan orang kaya Amerika dan pihak korporasi untuk membayar lebih banyak melalui mekanisme pajak.
Kesepakatan UU terkait plafon utang yang telah disetujui DPR AS ini, seperti dikutip dari Reuters, mengangkat pagu utang pemerintah hingga sebesar 31,4 triliun Dolar AS (sekitar Rp468,33 kuadriliun), sebagai imbalan atas pemotongan pengeluaran diskresioner di luar bidang pertahanan dan memperketat persyaratan kerja dalam program-program bantuan.
Selain itu, dalam negosiasi plafon utang, Biden tidak bersikeras dalam isu penggalangan pendapatan pajak, tetapi malah mengorbankan rencana 80 miliar Dolar AS (sekitar Rp1,19 kuadriliun) dalam pendanaan baru selama satu dekade untuk memodernisasi IRS guna meningkatkan penegakan terhadap penipuan pajak.
Dalam negosiasi tersebut, menurut Reuters, IRS akan dialihkan anggarannya sebesar 20 miliar Dolar AS (sekitar Rp298,29 triliun) selama dua tahun untuk prioritas pengeluaran lainnya.
Meski demikian, juru bicara Gedung Putih Michael Kikukawa menyatakan bahwa Biden akan tetap berusaha mendorong kebijakan guna membuat “orang super kaya dan korporasi besar” untuk membayar pajak mereka secara adil.
Jadi, meski suara Republik yang didominasi konservatif masih terpecah untuk siapa yang akan mewakili mereka pada Pilpres mendatang, tetapi Biden sendiri masih harus melakukan upaya keras dalam meningkatkan kinerjanya agar dapat meraih kembali kemenangan untuk masa jabatan keduanya.
COPYRIGHT © ANTARA 2023