Petugas kesehatan di Kongo timur mulai menggelar program vaksinasi Ebola pada Rabu (13/10), kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Beberapa hari menjelang vaksinasi seorang balita dua tahun meninggal karena Ebola, sehingga memunculkan kekhawatiran wabah besar lainnya.
Bocah itu meninggal pada Rabu pekan lalu di sebuah klinik di Kota Beni, salah satu pusat wabah selama 2018-2020 yang menyebabkan lebih dari 200 orang meninggal dan menginfeksi sekitar 1.000 orang lebih.
WHO menyebutkan bahwa tiga orang dari lingkungan yang sama meninggal pada September setelah mengalami gejala mirip Ebola, seperti muntah parah dan diare.
Pengurutan gen lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah kasus terbaru berkaitan dengan wabah sebelumnya atau apakah berasal dari sumber baru.
Ebola bertahan di air mani selama berbulan-bulan pascapemulihan, menyebabkan serangan sporadis Ebola yang apabila dicegah diawal biasanya lebih mudah dikendalikan.
Petugas kesehatan sedang mengawasi lebih dari 170 kontak dan 200 dosis vaksin telah dikirim ke Beni, kata WHO.
Petugas menggunakan vaksin rVSV-ZEBOV produksi Merck untuk menargetkan kontak korban dan kontak mereka melalui pendekatan yang disebut “cincin vaksinasi”, kata WHO.
Vaksin merevolusi perang melawan demam berdarah, yang biasanya menewaskan sekitar separuh dari jumlah orang yang terinfeksi.
Manfaat itu paling dirasakan di Kongo, yang mencatat 12 wabah sejak penyakit Ebola ditemukan di hutan khatulistiwa dekat Sungai Ebola pada 1976.
Pada 2018 vaksin membantu menekan virus di kota padat Mbandaka, yang memiliki populasi lebih dari satu juta jiwa.
“Ebola adalah virus jahat dan mematikan yang dapat menular secara agresif dan cepat.
Namun vaksin mampu membangun dinding perlindungan di sekitar kasus, memutus mata rantai penularan, mencegah kemungkinan wabah yang lebih besar dan menyelamatkan banyak nyawa,” kata direktur WHO untuk Afrika Matshidiso Moeti melalui pernyataan.