Anggota parlemen Amerika Serikat (AS), Kamis (13/7), menuduh Partai Komunis China menggunakan praktik-praktik ekonomi koersif untuk meraih dominasi terhadap AS di seluruh dunia.
Tuduhan tersebut muncul pada sidang Komite Seleksi DPR tentang Persaingan Strategis Antara Amerika Serikat dan Partai Komunis China beberapa hari setelah Menteri Keuangan AS Janet Yellen bertemu dengan para pejabat China di Beijing untuk membahas hubungan ekonomi negara tersebut.
Yellen mengatakan bahwa sementara AS mengambil tindakan keamanan nasional yang ditargetkan, “pemisahan dua ekonomi terbesar dunia akan menjadi bencana bagi kepentingan kedua negara dan mendestabilisasi dunia, dan hampir tidak mungkin dilakukan.
Kami menginginkan ekonomi global yang dinamis dan sehat yang terbuka, bebas dan adil.” Hubungan diplomatik antara kedua negara tegang sejak AS menjatuhkan balon mata-mata China awal tahun ini.
Para saksi mengatakan kepada panel DPR pada Kamis bahwa perusahaan-perusahaan AS menghadapi berbagai peningkatan ancaman dalam operasi bisnis di wilayah China.
“Tidak ada yang namanya perusahaan swasta di China, sekumpulan undang-undang seperti undang-undang kontra spionase yang diperbarui, undang-undang keamanan data, undang-undang sanksi anti-asing telah mengkodifikasi apa yang selalu benar.
China berhak untuk menghapus data apa pun, menyita aset apa pun, dan mengambil IP (kekayaan intelektual) yang mereka inginkan, ” kata Ketua Komite Mike Gallagher.
Menurut anggota komite, kebijakan pemerintah China yang sangat restriktif (ketat) mendorong apa yang disebut “brain drain” (larinya bibit-bibit unggul keluar negeri) dari para pebisnisnya sendiri.
Akibatnya, China menjadi negara teratas di dunia yang banyak ditinggalkan oleh kalangan warganya yang kaya, karena melarikan diri dari apa yang mereka takutkan dari Partai Komunis kemampuan untuk menyita aset mereka secara sewenang-wenang.
Para saksi (yang dipanggil oleh Komisi DPR AS) memberikan kesaksian bahwa lingkungan di China menjadi semakin ketat bagi perusahaan-perusahaan dan individu Amerika.
“Dalam beberapa bulan terakhir, otoritas China sekarang menuntut pelaku bisnis dalam atau luar negeri mana pun dengan tuduhan spionase hanya karena menyediakan layanan apa pun yang menggunakan informasi RRC untuk diberikan atau diberikan kepada pelanggan yang berbasis di negara ketiga,” kata Piper Lounsbury, kepala penelitian dan pengembangan di Strategy Risks, sebuah perusahaan manajemen risiko bagi perusahaan yang melakukan bisnis di China.
Perusahaan-perusahaan Eropa juga mengeluhkan iklim bisnis yang memburuk.
Pada Juni, sebuah survei oleh Kamar Dagang Uni Eropa di China melaporkan rekor tertinggi 64 persen dari perusahaan Eropa yang berbasis di China yang disurvei melaporkan bahwa melakukan bisnis di China menjadi lebih sulit pada 2022.
“Tindakan keras terhadap bisnis konsultasi, peningkatan data, undang-undang kerahasiaan, dan aliran informasi RRC hanya menyoroti simetri negatif yang kita miliki dengan China.
Ini berarti bahwa bahkan perusahaan sekarang bahkan tidak bisa melakukan uji tuntas (due diligence) sebelum transaksi bisnis apa pun,” kata Lounsbury.
Kementerian Luar Negeri China menolak kritik terhadap praktik bisnisnya hari Senin sebagai tanggapan atas peringatan perjalanan Departemen Luar Negeri AS yang dikeluarkan bulan ini yang memperingatkan warga Amerika tentang “risiko penahanan yang salah”.
“China adalah negara di bawah supremasi hukum.
Keputusan lembaga-lembaga (pemerintah) terkait untuk melakukan tinjauan keamanan terhadap perusahaan asing dilakukan menurut hukum serta didasarkan pada hukum dan fakta.
China menyambut warga negara dan perusahaan dari seluruh dunia untuk mengunjungi China dan melakukan bisnis di China, serta melindungi keselamatan dan hak serta kepentingan mereka yang sah di China, termasuk kebebasan keluar masuk,” kata Mao Ning, juru bicara kementerian Luar Negeri China.
Konstitusi China secara eksplisit mewajibkan hak-hak individu warga negara tunduk pada kepentingan Partai Komunis (PKC) yang berkuasa, yang secara langsung mengontrol proses legislatif dan pengadilan.
Raja Krishnamoorthi, seorang anggota DPR Partai Demokrat dari Illinois, mengatakan kepada VOA Mandarin bahwa Washington berfokus pada upaya meyakinkan Beijing agar mengubah kebijakan mereka, bukan menghalang-halangi kemajuan perekonomian negara itu.
“Pertengkaran kita bukan dengan orang China.
Kami ingin mereka mewujudkan aspirasi ekonomi sah mereka, tetapi PKC perlu mengubah perilakunya.
Maksud saya, Anda tidak dapat memiliki sistem tanpa aturan hukum, dan itulah yang diamati banyak orang saat ini di China,” kata Krishnamoorthi.
Saksi mengatakan kepada komite bahwa bisnis Amerika di China menghadapi aturan ketat yang restriktif – yang dipimpin dari atas ke bawah oleh Presiden Xi Jinping – serta potensi pencurian kekayaan intelektual dan ancaman penyitaan aset terus-menerus.
Dalam laporan terbarunya kepada Kongres pada 2022, Komisi Tinjauan Ekonomi dan Keamanan AS-China, yang dibentuk oleh Kongres pada 2000 untuk memantau dan melaporkan implikasi keamanan nasional dari hubungan ekonomi AS-China, serta membuat rekomendasi, mengatakan bahwa perusahaan dan investor AS sedang mengevaluasi kembali keterlibatan bisnis mereka di China.
“China telah menumbangkan sistem perdagangan global dan bergerak lebih jauh dari semangat dan surat kewajibannya di bawah protokol aksesi WTO,” kata laporan itu.
“Subsidi China, kelebihan kapasitas, pencurian kekayaan intelektual, dan kebijakan nonpasar yang proteksionis memperburuk distorsi ekonomi global.
Praktik-praktik ini telah merugikan pekerja, produsen, dan inovator di Amerika Serikat dan negara berbasis pasar lainnya.” Komisi itu melanjutkan temuannya dengan mengatakan bahwa kemampuan Amerika Serikat untuk mengatasi praktik-praktik perdagangan (Beijing) yang berbahaya itu, menjadi tidak efektif akibat kurangnya strategi yang koheren.
[pp/ft] Wartawan VOA Mandarin Yi-hua Lee juga berkontribusi dalam lapor