JAVAFX – Harga Minyak Mentah AS memecah kebuntuan dengan berakhir naik dalam perdagangan di hari Kamis (24/01), sementara Brent sedikit terkoreksi. Para pialang bereaksi dengan lonjakan pasokan minyak mentah AS dan kemungkinan sanksi AS terhadap minyak mentah asal Venezuela di tengah meningkatnya ketegangan politik di negara Amerika Selatan tersebut.
Jika sanksi tersebut berlangsung, akan mendorong harga minyak mentah naik. Sayangnya pasokan minyak juga mengalami kenaikan secara tak terduga. Sehingga pasar masih berlimpah penawarannya.
Harga Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman bulan Maret naik 51 sen, atau 1%, ke $ 53,13 per barel di New York Mercantile Exchange (NYMEX), sementara minyak mentah Brent untuk bulan Maret turun kurang dari 0,1%, menjadi $ 61,09 untuk ICE Futures Europe.
Presiden Donald Trump pada hari Rabu secara resmi mengakui pemimpin oposisi Juan Guaido sebagai presiden sementara Venezuela yang kaya minyak. Trump menyatakan kekuasaan Presiden Nicolás Maduro sebagai tidak sah. AS juga mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap industri minyak Venezuela yang dapat lebih lanjut menghambat ekspor negara tersebut. AS mengimpor sekitar 17,7 juta barel minyak mentah dan produk minyak bumi dari Venezuela pada Oktober 2018, menurut Lembaga Informasi Energi.
Dibawah tekanan AS, kabinet Maduro tampak solid. Sejumlah jenderal masih tetap bersamanya. Hal ini tentu membuat konflik politik semakin meruncing. Jika sanksi ini berjalan, kondisi Venezuela akan menghadapi bencana ekonomi dan kemanusiaan. Oleh sebab itu para pialang memilih sikap berhati-hati dan tidak berasumsi akan ada pemulihan secepatnya jika terjadi perubahan rezim.
Perkembangan di Venezuela memiliki arti penting bagi pasar minyak global. Pasalnya, negara tersebut akan memegang jabatan bergilir sebagai presiden OPEC tahun ini. Harga minyak kemungkinan masih akan tetap dalam kisaran ini hingga mendapatkan kejelasan lebih lanjut.
Pada hari Kamis, Lembaga Informasi Energi melaporkan bahwa pasokan minyak mentah AS naik 8 juta barel selama sepekan hingga 18 Januari. Hasil ini bertentangan dengan ekspektasi awal yang memperkirakan terjadinya penurunan sebesar 600.000 barel. Pihak American Petroleum Institute (API) sehari sebelumnya melaporkan terjadi kenaikan 6,6 juta barel. Data dirilis sehari lebih lambat dari biasanya karena libur hari Martin Luther King, Jr.
Penurunan kegiatan penyulingan dan ekspor minyak mentah ditengah lonjakan impor minyak mentah telah mengakhiri penurunan suplai minyak secara tiba-tiba pada baru-baru ini. Persediaan minyak mentah AS mencatat penurunan dari dua minggu sebelumnya. Memang penurunan kegiatan penyulingan wajar dilakukan disaat masuk musim pemeliharaan. Sayangnya, penurunan minyak olahan ini diperparah dengan lonjakan besar impor yang mendorong stok minyak mentah tetap lebih tinggi.
Secara terpisah, laporan EIA pada hari Kamis mengatakan bahwa produksi minyak mentah AS diperkirakan akan terus mencetak rekor tahunan hingga pertengahan 2020-an dan akan tetap lebih besar dari 14,0 juta barel per hari hingga 2040. Dalam Laporan itu juga dikatakan bahwa AS akan menjadi pengekspor energi bersih pada 2020 karena produksi minyak mentah AS meningkat dan konsumsi domestik produk minyak bumi berkurang.
Selama sesi hari Rabu, minyak turun tajam setelah laporan dari Reuters bahwa Uni Eropa akan segera meluncurkan mekanisme yang akan memungkinkan perusahaan untuk melewati sanksi AS, dan berdagang dengan Iran.
Harga telah tertekan sejak awal pekan setelah peringatan IMF atas pertumbuhan ekonomi global 2019 yang melambat. Data ekonomi yang lemah dari China pada hari Senin, juga menggarisbawahi kekhawatiran tentang pertumbuhan ekonomi global dan permintaan energi. (WK)