JAVAFX – Mengawali perdagangan pada minggu ini, harga minyak mentah mencoba naik di bursa berjangka. Dorongan kenaikan terjadi menyusul serangan terhadap kapal tanker minyak mentah Arab Saudi. Namun kabar dari meruncinganya Perang Dagang AS – China, memaksa turun bursa saham dan investor melakukan aksi risk avoid. Minyak menjadi aset yang kurang disukai saat seperti ini.
Memang harga minyak mampu tampil mengesankan dengan mengalami peningkatan disaat bursa saham turun lebih dari 2%. Sayangnya penurunan peringkat ekonomi makro terjadi pula menyusul peningkatan geopolitik. Tentu saja ini akan menjadi pertimbangan ketika terjadi kehancuran di pasar saham.
Seperti diketahui bahwa AS dan China gagal mencapai kesepakatan perdagangan pada akhir pekan lalu. Bahkan keduanya justru saling menaikkan tariff impor masuk. Perselisihan perdagangan AS-China saat Beijing mengatakan pada hari Senin bahwa pihaknya akan menaikkan tarif barang-barang AS sebesar $ 60 miliar hingga 25%, setelah AS pada hari Jumat meningkatkan tarif barang-barang Cina $ 200 miliar menjadi 25% dari 10%. Akibatnya Dow Jones harus turun sekitar 560 poin, atau lebih dari 2% ketika bursa minyak telah berakhir.
Dikalangan pelaku pasar, ada kekhawatiran bahwa perselisihan perdagangan yang berkepanjangan dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi dan permintaan minyak yang lebih lambat. Disi lain, pasar juga mewaspadai peningkatan produksi minyak A.S.
Ditengah sentiment itu, memanasnya kembali Timur Tengah bisa mendorong kenaikan harga minyak mentah setidaknya 1% atau 2%. Harga minyak mungkin naik tergantung pada seberapa parah ancamannya di Selat Hormuz dan Jalur Kapal Houston.
Seperti diberitakan, bahwa Houston Ship Channel ditutup setelah sebuah kapal tanker gas alam cair bertabrakan Jumat sore dengan sebuah kapal tunda mendorong dua tongkang, menurut Houston Chronicle. Dibuka kembali pada hari Minggu ketika para kru membersihkan tempat kejadian.
Untuk saat ini, meningkatnya ketegangan Timur Tengah berpotensi mengancam pasokan global. Insiden di Arab Saudi itu terjadi beberapa hari setelah AS mengatakan akan mengirim kapal induk dan Presiden atas Trump Donald mengalami peningkatan ancaman dari Iran. Arab Saudi sejauh ini tidak mengidentifikasi negara mana yang bertanggung jawab atas serangan di Selat Hormuz, jalur air tersibuk di dunia untuk pengiriman minyak global melalui laut. Seorang juru bicara kementerian luar negeri Iran, Abbas Mousavi, dilaporkan diselidiki dalam serangan terhadap kapal-kapal Arab Saudi.
Serangan ini diyakini akan menaikkan harga minyak dan akan menambah lebih banyak volatilitas dipasar. Dampak perang yang terjadi jika AS memaksakan kekuatan militernya kepada Iran, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap keselamatan jalur pengiriman di Selat Hormuz.
Sebelumnya, AS pada bulan lalu mengeluarkan kebijakan untuk mendorong ekspor minyak Iran ke nol. AS menghentikan keringanan bagi negara-negara yang masih melakukan impor minyak Iran. Atas sanksi tersebut, Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz sebagai balasan.
Dengan demikian, sejauh ini sabotase atau peristiwa di tank Saudi bukan bagian dari perhitungan yang menyarankan harga minyak mentah yang lebih tinggi. Namun gabungan dari sejumlah gangguan pasokan seperti dari Venezuela; gesekan di Iran; dan kemungkinan kerugian di benua Afrika termasuk di Libya, Nigeria, dan mungkin Aljazair bisa mendorong harga minyak naik lebih tinggi hingga sekitar 2%, setidaknya selama 125 hari atau lebih kedepan. (WK)