Komitmen Selandia Baru untuk tetap bebas nuklir berarti negara itu tidak ikut berperan dalam rencana Australia untuk mengakuisisi kapal selam bertenaga nuklir, kata para pemimpin dari kedua negara setelah pertemuan Rabu (26/7).
Perdana Menteri Australia Anthony Albanese melakukan kunjungan resmi pertamanya ke Selandia Baru sejak menjadi pemimpin tahun lalu dan menekankan kedekatan yang tumbuh antara kedua negara bertetangga itu, termasuk rencana untuk mempermudah perjalanan di perbatasan.
Tetapi kedekatan dan keselarasan pada banyak masalah geopolitik tidak akan meluas ke apa yang disebut kesepakatan AUKUS untuk kapal selam yang ditengahi oleh Australia, Amerika Serikat, dan Inggris.
Beberapa pengamat khawatir bahwa upaya pertahanan Selandia Baru berisiko terpinggirkan karena negara tersebut tidak disertakan dalam kesepakatan.
“Saya pikir tidak diragukan lagi bahwa kami memiliki posisi berbeda seputar nuklir.
Perihal tenaga nuklir juga tercakup dalam pengaturan bebas nuklir Selandia Baru,” kata PM Selandia Baru, Chris Hipkins.
Albanese mengatakan “tidak ada rencana pada saat ini” untuk memasukkan Selandia Baru ke tahap kedua pengaturan AUKUS, yang berkisar pada penggunaan teknologi canggih.
“Kami sudah memiliki hubungan penting dalam pertahanan,” kata Albanese, seraya menambahkan bahwa Australia dan Selandia Baru ingin memperluas kerja sama di bidang-bidang lain, seperti interoperabilitas.
Penentangan Selandia Baru untuk memiliki kapal bersenjata nuklir atau bahkan bertenaga nuklir berlabuh di pelabuhannya sudah ada sejak tahun 1980-an dan berasal dari penentangannya terhadap uji coba nuklir di Pasifik.
Masalah ini telah lama menjadi isu penting dalam hubungan pertahanan negara tersebut dengan AS dan, baru-baru ini, dengan Australia.
Selandia Baru tetap menjadi anggota aliansi berbagi informasi intelijen Five Eyes dengan AS, Inggris, Kanada, dan Australia.
Dalam pernyataan bersama, para pemimpin kedua negara juga mengatakan mereka khawatir rencana kerja sama polisi baru antara China dan Kepulauan Solomon “akan merusak norma keamanan regional yang disepakati di Pasifik.”