Para pemimpin intelijen AS mengatakan bahwa China dan Rusia masih menjadi ancaman dominan terhadap keamanan dunia.
“Kami menilai Partai Komunis China atau CCP di bawah Presiden Xi Jinping akan melanjutkan upayanya untuk mewujudkan visi Xi membuat China sebagai kekuatan unggul di Asia Timur dan kekuatan utama di panggung dunia dalam beberapa tahun ke depan,” kata Direktur Intelijen Nasional AS Avril Haines.
“Yang mungkin paling mengkhawatirkan adalah CCP semakin yakin bahwa satu-satunya jalan untuk dapat mewujudkan visi tersebut adalah dengan mengorbankan kekuatan dan pengaruh AS juga secara paksa, menggunakan demonstrasi kekuatan, serta koersi ekonomi dan politik untuk memaksa pemerintah negara-negara lain menyetujui preferensi CCP.” Pernyataan Haines disampaikan dalam sidang dengar pendapat komite angkatan bersenjata Senat AS hari Kamis (4/5).
Direktur Badan Intelijen Pertahanan (DIA) AS Scott Berrier menambahkan, “perang di Ukraina juga merupakan prioritas DIA dan bagi militer Rusia, 2022 bukanlah tahun yang baik.” “Kita berada di wilayah yang sangat berbahaya dengan Rusia,” kata Berrier.
“Putin tidak mencari jalan keluar dan Moskow telah menegaskan secara terbuka bahwa ia tetap berkomitmen untuk meraih tujuannya di Ukraina dengan kekuatan militer.
China dan Rusia berusaha menggabungkan teknologi canggih untuk mengikis keunggulan teknologi kita di AS.” Ketegangan meningkat hari Rabu (3/5) setelah Rusia mengklaim telah menggagalkan serangan drone Ukraina pada malam hari ke Kremlin.
Rusia menyebutnya sebagai upaya pembunuhan Presiden Vladimir Putin yang gagal dan menjanjikan aksi pembalasan atas apa yang disebutnya sebagai sebuah tindakan “teroris.” Presiden Ukraina menyangkalnya, “Kami tidak menyerang Putin ataupun Moskow.” Sementara terkait konflik di Sudan, Haines mengatakan bahwa konflik itu kemungkinan akan berlangsung lama karena kedua pihak yang bertikai tampak tidak punya niat untuk berkompromi.
“Pertempuran di Sudan antara pasukan bersenjata Sudan dan pasukan dukungan cepat (RSF, red.) kami nilai mungkin akan berlarut-larut, karena kedua pihak percaya mereka bisa menang secara militer dan (percaya mereka) punya sedikit insentif untuk bernegosiasi,” kata Haines.
“Kedua pihak sedang mencari sumber dukungan dari pihak luar, yang apabila berhasil didapatkan mungkin akan semakin meningkatkan konflik dan menciptakan tantangan berupa potensi limpahan dampak perang di kawasan.” Perang di Sudan pecah 15 April lalu di antara dua orang komandan militer yang baru 18 bulan sebelumnya bersama-sama melakukan kudeta militer untuk menggagalkan transisi negara itu menuju demokrasi.
Perebutan kekuasaan di antara panglima angkatan bersenjata, Jenderal Abdel-Fattah Burhan, dan kepala kelompok paramiliter RSF, Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo, menyebabkan jutaan warga Sudan bersembunyi di rumah mereka dan membuat ratusan ribu orang mengungsi.