Harga minyak tergelincir pada perdagangan di hari Kamis (03/11/2022) karena kenaikan suku bunga AS mendorong dolar dan meningkatkan kekhawatiran resesi global yang akan menghambat permintaan bahan bakar, meskipun kerugian dibatasi oleh kekhawatiran atas pasokan yang ketat. Minyak mentah Brent turun 85 sen, atau 0,9%, menjadi $95,30 per barel pada 14:50 WIB, sementara minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS turun $1,01, atau 1,1%, menjadi $88,99.
Kedua harga minyak yang menjadi patokan tersebut ditutup naik lebih dari $1 pada hari Rabu, dibantu oleh penurunan lain dalam persediaan minyak AS, ketika The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin dan Ketua Jerome Powell mengatakan terlalu dini untuk berpikir tentang menghentikan kenaikan suku bunga.
Penguatan Dolar AS menurunkan harga minyak, dimana sejumlah pelaku pasar diperkirakan juga telah membukukan keuntungan setelah kenaikan harga baru-baru ini. Dolar yang kuat mengurangi permintaan minyak dengan membuat bahan bakar lebih mahal bagi pembeli yang menggunakan mata uang lain.
Setelah The Fed mengkonfirmasikan puncak suku bunga yang lebih tinggi, prospek ekonomi global yang gelap dapat terus menekan pasar berjangka minyak. Hal itu memang mengejutkan, setelah minyak terbukti sangat tangguh paska langkah Federal Reserve, namun ada beberapa faktor fundamental yang menempatkan harga akan tetap di bawah tekanan.
Disisi lain, potensi kenaikan harga minyak dapat terjadi dengan dukungan sejumlah sentiment berikut ini. Pertama adalah embargo Uni Eropa terhadap minyak Rusia untuk invasi ke Ukraina akan dimulai pada 5 Desember dan akan diikuti dengan penghentian impor produk minyak pada Februari tahun depan.
Kedua, OPEC+ kemungkinan akan menjaga pasokan tetap ketat dalam beberapa bulan mendatang. Produksi OPEC turun pada Oktober untuk pertama kalinya sejak Juni. OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia, juga memutuskan untuk memangkas produksi yang ditargetkan sebesar 2 juta barel per hari (bph) mulai November.
Ketiga adalah harapan pulihnya permintaan dari China setelah Beijing akan mengurangi kebijakan nol-COVID-nya. Pembuat kebijakan China berjanji pada hari Rabu bahwa pertumbuhan masih menjadi prioritas dan mereka akan melanjutkan reformasi. Setiap indikasi pembukaan kembali di China setelah pembatasan COVID-19 bisa menjadi “poros besar”.