JAVAFX – Harga minyak mentah di bursa berjangka berakhir lebih rendah pada perdagangan di hari Senin (13/05/2019). Namun demikian, harga sempat naik tajam diawal sesi menyusul serangan terhadap kapal tanker minyak mentah Arab Saudi. Disisi lain, terjadi penurunan tajam di bursa saham A.S. terhadap apa yang disebut aset berisiko, termasuk minyak. Alhasil laju kenaikan ini tertahan.
Secara mengesankan harga minyak mentah mengalami peningkatan disaat ekuitas turun lebih dari 2%, sehingga penurunan peringkat ekonomi makro terjadi menyusul peningkatan geopolitik. Sayangnya, ketika harga minyak naik ini akan tersandung nilainya jika terjadi kehancuran di pasar saham.
Minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman bulan Juni, turun 62 sen, atau 1%, berakhir di $ 61,04 per barel di COMEX, New York Mercantile Exchange setelah diperdagangkan setinggi $ 63,33 pada awal sesi. Harga penyelesaian untuk kontrak bulan depan pada posisi terendah sejak 29 Maret. Sementara harga minyak mentah Brent, sebagai acuan harga global mengalami penurunan untuk kontrak pengiriman bulan Juli sebesar 39 sen, atau 0,6%, menjadi $ 70,23 per barel di ICE Futures Europe setelah mencapai tertinggi $ 72,58. Kerugian itu terjadi secara beruntun dalam tiga kemenangan sesi terakhir.
Menteri Perminyakan Saudi Khalid al-Falih mengatakan melalui kantor berita yang dikontrol negara bahwa ada “kerusakan signifikan” pada kedua kapal tanker itu, ketika kapal-kapal itu mencoba menyeberang ke subuh pagi hari di Teluk Persia, waktu setempat, demikian dilaporkan oleh The Wall Street Journal.
Namun, ada pula ketegangan perdagangan baru, yakni setelah AS dan China gagal mencapai kesepakatan perdagangan pada hari Jumat. Indek Dow Jones turun sekitar 560 poin, atau lebih dari 2% ketika bursa minyak telah berakhir.
Perselisihan perdagangan AS-China saat Beijing mengatakan pada hari Senin bahwa pihaknya akan menaikkan tarif barang-barang AS sebesar $ 60 miliar hingga 25%, setelah AS pada hari Jumat meningkatkan tarif barang-barang Cina $ 200 miliar menjadi 25% dari 10%.
Dikalangan pelaku pasar, ada kekhawatiran bahwa perselisihan perdagangan yang berkepanjangan dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi dan permintaan minyak yang lebih lambat. Disi lain, pasar juga mewaspadai peningkatan produksi A.S. (WK)