JAVAFX – Harga minyak masih positif terbantu ekspor China yang terjaga pada perdagangan minyak siang hari jelang sore ini namun masih terdapat bayang-bayang pasokan yang akan berkurang cukup besar dan rendahnya konsumsi global masih membatasi perbaikan harga lebih lanjut.
Data ekspor China memang mengalami penurunannya pada bulan lalu, namun surplus perdagangan yang turun tersebut tidak sebesar perkiraan pasar ketika perang tarif bulan lalu sudah diberlakukan AS kepada China sehingga pasar minyak optimis dalam menghadapi kondisi perang tarif dan jelang embargo Iran situasi pasokan akan tetap seimbang.
Hal ini telah membuat harga minyak jenis West Texas Intermediate kontrak September di bursa New York Mercantile Exchange divisi Comex untuk sementara menguat $0,09 atau 0,13% di level $69,26 per barel. Sedangkan minyak Brent kontrak Oktober di pasar ICE Futures London untuk sementara menguat $0,02 atau 0,08% di harga $74,65 per barel.
Sebelumnya dukungan harga minyak datang setelah diberitakan bahwa AS mulai pekan ini akan memberlakukan sanksi baru kepada Iran atas usahanya menekan Iran untuk patuh tidak mengembangkan tehnologi nuklirnya. Iran tengah dilarang melakukan kegiatan perdagangan lalu lintas uang, logam dan setengah produksi energinya dilarang untuk di ekspor sehingga diperkirakan sekitar 2,4 juta bph konsumsi minyak asal Iran akan hilang mulai bulan ini.
Kondisi ini membuat pasar sedikit terkejut karena pasokan minyak akan cukup berkiurang mengingat Iran merupakan salah satu pengekspor minyak terbesar kelima didunia. Pasokan minyak Iran banyak ke negara India, China dan Uni Eropa, di mana ketiganya rupanya juga tidak ikut serta memberikan sanksi kepada Iran seperti AS, namun AS pasti akan menekan mereka dengan segera membatasi ruang perdagangan dolarnya.
Banyak pihak berpendapat bahwa sanksi Iran ini akan membawa harga minyak ke level $90 per barel dalam waktu dekat ini. Namun faktor akan kelebihan pasokan minyak pernah menjadi penyebab harga minyak disikapi negatif oleh pasar. Dalam laporan sebelumnya, OPEC menjelaskan bahwa di bulan Juli lalu, telah mengalami kenaikan produksi sekitar 70 ribu bph menjadi 32,64 juta bph, tertinggi selama 2018 ini. Selain itu persediaan minyak AS terlihat akan mengalami kenaikan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Rusia, di mana bulan lalu, produksi mereka lebih besar 150 ribu bph lebih banyak daripada kesepakatan awal dengan OPEC sebagai jawaban dari keinginan Presiden Trump agar harga minyak dunia tidak terlalu tinggi yaitu dengan memperbesar pasokannya.
Namun secara mengejutkan, pekan lalu memasuki pekan kedua Baker Hughes mengumumkan penutupan kilang minyaknya atau rig di mana terdapat 2 rig yang ditutup di pekan lalu karena turunnya permintaan konsumsi dan kesepakatan lindung nilai telah membuat harga minyak turun dan menjadikan biaya produksi naik sehingga membatasi gerak investasi perusahaan minyak AS.
Sdlain itu secara mengejutkan juga perbaikan harga minyak di awal pekan ini didukung oleh produksi minyak Arab Saudi yang mengalami penurunan di bulan lalu, sebesar 200 ribu bph menjadi 10,29 juta bph. Mengejutkan memang karena sebelumnya Arab Saudi bersama Rusia sudah sepakat akan menaikkan produksinya karena berdasar permintaan dari Presiden Trump agar harga minyak tidak terlalu tinggi sehingga OPEC dan Rusia diharapkan menaikkan produksinya.
Perbaikan harga minyak juga tidak besar karena ada perkiraan akibat perang dagang. Kondisi perang dagang memang belum usai, di mana kondisi ini tidak bersahabat bagi harga minyak karena dapat dipastikan pertumbuhan ekonomi dunia akan menurun sehingga permintaan konsumsi minyak juga akan merendah, sedang OPEC sudah berusaha menaikkan pasokannya lagi. Trump sedang mempersiapkan tarif tambahan sebesar 25% bagi produk impor China.
(Sumber: Analis JAVAFX)
Author : Adhi Gunadhi