Gedung Putih: AS Ingin Pendekatan Baru dengan China

0
54

Gedung Putih mengatakan Washington dengan sabar mencari “pendekatan baru” terhadap hubungan dengan China, ketika kedua negara masih terlibat dalam “persaingan strategis” yang serius.

“Yang kita saksikan selama beberapa tahun terakhir adalah China semakin otoriter di dalam negeri dan makin berani di luar negeri.

Beijing sekarang menantang keamanan, kemakmuran, dan nilai-nilai kita, dengan cara-cara signifikan yang membutuhkan pendekatan baru AS,” kata juru bicara Gedung Putih, Jen Psaki, dalam konferensi pers, Senin (25/1).

Beberapa jam sebelumnya, Presiden China Xi Jinping berbicara melalui video ke Forum Ekonomi Dunia.

Dalam pidatonya, ia mendesak negara-negara untuk bekerja sama dalam perubahan iklim dan kesehatan masyarakat.

Dia juga memperingatkan mengenai konflik antara Washington dan Beijing tanpa menyebut nama Amerika.

Xi mengatakan membendung virus corona adalah tugas paling mendesak bagi komunitas internasional.

Pesan Beijing disampaikan ketika tim kebijakan luar negeri Presiden Amerika Serikat (AS) Joseph Biden bersiap mengumpulkan sekutu untuk menghadapi tantangan yang mendesak, mulai dari mempertahankan demokrasi hingga peningkatan persaingan dengan China dan negara otoriter lainnya.

“Dunia yang terpecah tidak bisa mengatasi tantangan bersama yang dihadapi umat manusia, dan konfrontasi akan membawa umat manusia ke jalan buntu,” kata Xi dalam pidato virtual di Forum Ekonomi Dunia.

Hubungan antara dua ekonomi utama dunia ini, pada masa yang terburuk dalam beberapa dekade ketika ke dua negara bentrok mengenai perdagangan, teknologi 5G, hak asasi manusia, dan keamanan regional.

Washington menuduh Beijing selama bertahun-tahun berupaya mencuri kekayaan intelektual dan terlibat dalam spionase industri.

Pemerintahan Biden sedang meninjau rencana untuk menghapus tiga perusahaan telekomunikasi China dari Bursa Saham New York.

Pada Selasa (19/1) lalu, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo menyatakan Partai Komunis China terlibat dalam genosida terhadap populasi Muslim Uighur di Xinjiang.

Penetapan kebijakan tersebut bisa memicu peninjauan dan sanksi-sanksi baru.