Duta Besar RI untuk Kuwait Lena Maryana Mukti menilai demokrasi tanpa melibatkan perempuan mencerminkan kondisi “defisit demokrasi”.
“Syarat demokrasi itu adalah proporsi yang seimbang dari kedua gender untuk menciptakan negara yang demokratis, bahkan demokrasi yang tanpa mengikutsertakan perempuan itu saya sebut sebagai defisit demokrasi,” kata Lena dalam webinar bertajuk “Meet the Diplomat” di Jakarta, Sabtu.
Ia memaparkan pentingnya partisipasi perempuan di ranah politik untuk menghasilkan kebijakan yang lebih demokratis.
“Jumlah perempuan di dunia ini lebih dari laki-laki, namun aktivitas politik mereka masih marginal.
Rata-rata hanya 15 persen di berbagai negara di dunia,” katanya.
Lena menambahkan jumlah perempuan sebanyak 49,8 persen dari jumlah penduduk, tapi representasi mereka di parlemen hanya 18 persen.
Berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (The UN Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW) telah disahkan dan diterima oleh Majelis Umum PBB pada 1979.
Hingga kini, lebih dari 170 negara telah meratifikasinya, termasuk Indonesia.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 menetapkan keterwakilan perempuan dalam partai politik minimal 30 persen, baik dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat.
Lena mengaku bahwa tidak semua parpol bisa memenuhi syarat tersebut, karena itu ia menyarankan keterlibatan perempuan sebanyak 30 persen harus sudah tercantum dalam AD/ART parpol.
“Jadi ketika pemilu, tidak asal comot,” ujarnya.
Selain itu, dia menambahkan, perlunya peningkatan pemahaman politik bagi perempuan sehingga tidak hanya memenuhi secara kuantitas, tetapi juga kualitas.
Dia mengatakan saat RUU terkait keterwakilan perempuan digodok pada periode 2004-2009, keterwakilan perempuan di parlemen hanya 68 orang.
Setelah UU itu disahkan, angka keterwakilan perempuan langsung naik dari 11 persen menjadi 18 persen dan diikuti wakil-wakil di daerah, melalui DPRD, katanya.
Namun, menurut Lena, kondisi saat ini pun tidak terlepas dari tantangan yang masih harus dihadapi, seperti isu seksisme yang mengaitkan perempuan dengan korupsi dan lain sebagainya.
“Itu kejam sekali, apakah laki-laki yang berderet yang terbukti korupsi itu mendapat penghakiman serupa,” katanya.
Di samping itu, Lena menilai, stigma dunia politik yang dianggap kotor juga membuat perempuan menghindar berkecimpung di ranah tersebut.