Menghadapi tuduhan penyensoran, CEO Twitter dan Facebook hari Selasa (17/11) hadir di hadapan sidang anggota Senat AS untuk membela tindakan yang diambil selama pemilu AS baru-baru ini.
CEO Facebook dan Twitter yang sedang menghadapi tuduhan penyensoran, Selasa hadir secara virtual di hadapan para anggota Senat Amerika untuk memberikan kesaksian kepada sebuah komite Senat.
Kehadiran mereka di hadapan Senat ini adalah yang kedua kalinya dalam tiga minggu.
Sebagian besar kecaman yang diarahkan pada Mark Zuckerberg dari Facebook dan Jack Dorsey dari Twitter itu bukanlah hal baru, namun dilontarkan setelah pemilu AS baru-baru ini.
Lindsey Graham, senator Partai Republik dari South Carolina mengatakan, “Ketika Anda memiliki perusahaan yang memiliki kekuatan pemerintah, memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada media tradisional, sesuatu harus dilakukan.” Situs media sosial yang mengawasi misinformasi, ujaran kebencian dan masalah lainnya sejak lama menjadi perhatian dan dipertanyakan oleh anggota Kongres dari kedua partai.
Partai Republik menuduh kedua situs media sosial itu melakukan penyensoran.
John Cornyn, senator Partai Republik dari Texas, mengatakan, “Meskipun kita tidak akan pernah membiarkan pemerintah mengatur apa yang ditulis atau tidak ditulis pers, pada dasarnya kita mengizinkan perusahaan-perusahaan swasta, yang sekarang secara de facto menjadi forum publik untuk mengatur pengutaraan pendapat tersebut.” Partai Demokrat mengatakan perusahaan-perusahaan itu perlu berbuat lebih banyak untuk mencegah penyebaran kebohongan.
Senator Richard Blumenthal adalah senator Partai Demokrat yang mewakili Connecticut.
“Anda telah mengembangkan alat persuasi dan manipulasi yang menakutkan, dengan kekuatan yang jauh melebihi para raja perampok di Zaman Emas terakhir,” ujarnya.
Perusahaan-perusahaan itu mengakui perlunya reformasi.
Mark Zuckerberg, CEO, Facebook mengatakan, “Saya yakin sudah saatnya memperbarui aturan internet seputar konten, pemilu, privasi, dan portabilitas data.” CEO Twitter, Jack Dorsey menunjukkan dampak algoritma dalam menentukan apa yang dilihat pengguna.
“Kami yakin bahwa kita harus memiliki lebih banyak pilihan mengenai bagaimana algoritme ini diterapkan pada konten kami.
Apakah kita menggunakannya atau tidak sama sekali.
Jadi kita bisa mengaktifkan atau menonaktifkannya dan memiliki kejelasan seputar hasil yang diproyeksikannya.
” Para ahli mengatakan keterbukaan perusahaan- perusahaan itu untuk melakukan perubahn merupakan hal baru.
Paul Barrett adalah wakil direktur Pusat Bisnis dan Hak Asasi Manusia di Universitas New York.
“Perusahaan-perusahaan itu jelas mengisyaratkan telah mencoba mencari cara untuk berkompromi dengan anggota Kongres untuk menghasilkan kerangka peraturan baru,” katanya.
Para ahli mengatakan kemungkinan besar, undang-undang baru apa pun tampaknya akan meminta perusahaan-perusahaan teknologi untuk lebih transparan dalam mengungkapkan cara mereka membuat keputusan tentang konten yang akan ditandai dengan peringatan atau diblokir.
Dan selama media sosial memiliki kekuatan untuk mempengaruhi opini, maka akan ada pengawasan.