Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, Rabu (26/5), mengutuk konflik enam bulan di wilayah Tigray, Etiopia, yang dilanda perang.
Ia menyerukan gencatan senjata dan menyatakan bahwa pelanggaran hak asasi “harus diakhiri.” “Saya sangat prihatin akan peningkatan kekerasan dan pengerasan perpecahan regional dan etnis di banyak bagian Etiopia,” kata Biden dalam pernyataan Gedung Putih.
“Pelanggaran hak asasi manusia skala besar yang terjadi di Tigray, termasuk kekerasan seksual yang meluas, tidak dapat diterima dan harus diakhiri,” imbuhnya.
Perdana Menteri Etiopia Abiy Ahmed awalnya mengirim pasukan ke Tigray pada November setelah menuduh partai penguasa regional yang pernah dominan mengatur serangan terhadap kamp-kamp tentara federal.
Abiy, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, mengumumkan kemenangan akhir bulan itu ketika tentara memasuki ibu kota wilayah Mekele.
Namun, pertempuran berlanjut dan konflik setengah tahun itu memicu tuduhan pembantaian dan pemerkosaan oleh pasukan Etiopia dan pasukan dari negara tetangga, Eritrea.
“Pihak yang berperang di wilayah Tigray harus menyatakan dan mematuhi gencatan senjata, dan pasukan Eritrea dan Amhara harus mundur,” kata Biden, mengacu pada wilayah Amhara, yang berbatasan dengan Tigray di selatan.
Awal pekan ini kepala bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Mark Lowcock memperingatkan Dewan Keamanan bahwa “ada risiko kelaparan yang serius jika bantuan tidak ditingkatkan dalam dua bulan mendatang.” Berdasar peringatan itu, Biden mengatakan, “semua pihak, khususnya pasukan Etiopia dan Eritrea, harus mengizinkan akses kemanusiaan segera tanpa hambatan ke wilayah itu untuk mencegah kelaparan yang meluas.” Untuk pertama kali pada Rabu, pemerintah Abiy mengungkapkan jumlah korban serangan yang dilakukan pasukan Tigrayan, yang telah lama diklaim pejabat federal tidak akan dapat melakukan pemberontakan yang efektif.
Etiopia mengatakan telah mencatat 22 tewas, 20 “diculik”, dan empat lainnya “terluka dan dirawat di rumah sakit.” Beberapa kekejaman terburuk dalam konflik itu, termasuk perkosaan massal dan pembantaian, diyakini telah menewaskan ratusan orang