Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menggambarkan pembicaraan temu muka mereka yang pertama sebagai kepala negara sebagai “produktif.” Namun, mereka tidak mengumumkan terobosan besar dalam hubungan di antara kedua negara.
Biden mengatakan kepada reporter setelah pertemuan pada Senin, di sela-sela konferensi tingkat tinggi (KTT) Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO) di Brussels, bahwa pembicaraan mereka “positif dan produktif” serta dia “yakin kami akan membuat kemanjuan nyata dengan Turki.” Erdogan menggambarkan pembicaraan itu sebagai “produktif dan dilandasi niat baik.” “Kami pikir tidak ada isu-isu antara AS dan Turki yang tidak dapat diatasi dan bidang-bidang kerja sama bagi kami lebih kaya dan besar ketimbang masalahnya,” katanya.
Pembicaraan ini berlangsung pada saat kedua sekutu NATO itu sedang bertikai seputar sejumlah isu, termasuk Suriah, Libya, dan penjualan persenjataan Rusia kepada Turki.
AS menjatuhkan sanksi terhadap Turki pada Desember akibat pembelian sistem persenjataan Rusia oleh Turki.
Turki menyerukan agar AS mengakhiri dukungannya untuk pejuang Kurdi di Suriah, yang menurut Turki terkait dengan pemberontakan Kurdi di Turki.
Pada April, Biden membuat Turki gusar karena menyebut pembantaian 1,5 juta warga Armenia semasa Kekaisaran Ottoman sebagai sebuah genosida.
Turki menolak tuduhan bahwa pembunuhan itu merupakan sebuah genosida.
Erdogan mengatakan, isu Armenia tidak dibahas dalam pertemuan yang berlangsung selama 45 menit itu.
Sehubungan pembelian sistem persenjataan Rusia, berupa misil S-400, Erdogan mengatakan, kemajuan telah dicapai.
Erdogan mengatakan dia dan Biden juga membahas Afghanistan menyusul laporan bahwa Turki bisa berperan untuk mengamankan bandara internasional di Kabul setelah AS menarik pasukannya dari negara itu.
Kata Erdogan, Turki akan membutuhkan “bantuan diplomatik, logistik, dan finansial” dari AS seandainya negara itu harus mempertahankan pasukan di Afghanistan.