Dua ekonomi terbesar dan pembuat polusi karbon terbesar di dunia mengumumkan rencana terpisah mengenai perubahan iklim pada hari Selasa (21/9).
Presiden China Xi Jinping mengatakan negaranya tidak akan lagi mendanai pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri, mengejutkan dunia mengenai iklim untuk tahun kedua berturut-turut di Majelis Umum PBB.
Ini dikemukakan beberapa jam setelah Presiden AS Joe Biden mengumumkan rencana untuk menggandakan bantuan keuangan kepada negara-negara miskin menjadi 11,4 miliar dolar pada 2024, agar negara-negara itu dapat beralih ke energi yang lebih bersih dan mengatasi dampak pemanasan global yang memburuk.
Ini membuat negara-negara kaya mendekati target bantuan iklim 100 miliar dolar per tahun untuk negara-negara berkembang yang telah lama dijanjikan namun belum direalisasikan.
“Ini benar-benar momen yang sangat berpengaruh,” kata Xinyue Ma, pakar keuangan pembangunan energi di Pusat Kebijakan Pembangunan Global di Boston University.
Ini bisa memberi sejumlah momentum menuju pembicaraan iklim penting di Glasgow, Skotlandia, dalam waktu kurang dari enam pekan, kata para pakar.
Menjelang kesepakatan iklim Paris 2015, sebuah kesepakatan bersama AS-China mengawali perundingan yang berhasil.
Kali ini, dengan hubungan China-AS yang tidak dapat diprediksi, kedua negara mengeluarkan pernyataan secara terpisah, dalam rentang jam dan jarak ribuan kilometer.
“Hari ini merupakan hari yang benar-benar baik bagi dunia,” kata PM Inggris Boris Johnson, yang menjadi tuan rumah perundingan iklim mendatang, kepada Wakil Presiden AS Kamala Harris.
Sekjen PBB Antonio Guterres, yang telah mengeluarkan desakan pekan ini bagi upaya-upaya lebih besar untuk mengatasi perubahan iklim, menyebut dua pengumuman itu sebagai kabar yang disambut baik.
Akan tetapi ia mengatakan “masih panjang jalan yang harus kita tempuh” untuk membuat pertemuan Glasgow berhasil.
Tergantung pada kapan kebijakan batu bara baru China mulai berlaku, ini dapat menutup 47 pembangkit listrik tenaga batu bara yang rencananya dibangun di 20 negara berkembang, yang menggunakan bahan bakar yang melepaskan gas yang paling banyak memerangkap panas.
Jumlah tersebut kurang lebih sama dengan pembangkit listrik tenaga batu bara dari Jerman, kata lembaga kajian iklim Eropa E3G.
“Ini hal penting.
China adalah satu-satunya penyandang dana signifikan di luar negeri yang tersisa.
Pengumuman ini pada dasarnya mengakhiri semua dukungan publik untuk bata bara secara global,” kata Joanna Lewis, pakar mengenai iklim dan energi China di Georgetown University.
“Ini adalah pengumuman yang ditunggu-tunggu banyak orang.” Mulai 2013 hingga 2019, data menunjukkan bahwa China mendanai 13 persen pembangkit listrik tenaga batu bara yang dibangun di luar China.
China merupakan penyandang dana publik terbesar, kata Kevin Gallagher dari Boston University.
Jepang dan Korea Selatan mengumumkan awal tahun ini bahwa keduanya juga akan keluar dari bisnis pembiayaan batu bara.