AS akan tambah pasokan peluncur roket untuk Ukraina

0
59

Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada Selasa (4/10) mengatakan kepada Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy bahwa AS akan menambah pasokan peluncur Sistem Roket Artileri Mobilitas Tinggi (HIMARS), kata Gedung Putih.

Tambahan pasokan itu merupakan bagian dari bantuan baru bidang keamanan untuk Ukraina senilai 625 juta dolar AS (sekitar Rp9,5 triliun), kata kantor presiden AS tersebut.

Biden “berjanji akan terus mendukung Ukraina untuk mempertahankan diri dari agresi Rusia selama diperlukan,” kata Gedung Putih melalui pernyataan.

Janji itu disampaikan Biden saat melakukan percakapan telepon dengan Zelenskyy, menurut Gedung Putih.

Dalam kesempatan itu, Presiden AS juga menyatakan bahwa Washington tidak akan pernah mengakui aneksasi Rusia terhadap wilayah-wilayah Ukraina.

Paket itu merupakan paket bantuan pertama yang diberikan AS sejak Rusia baru-baru ini mendeklarasikan aneksasi tersebut.

Bantuan tersebut juga merupakan paket yang kedua sejak Ukraina mencapai kemenangan besar di medan perang pada pertengahan September.

Departemen Luar Negeri AS dalam pernyataan menyebutkan bahwa paket itu mencakup empat peluncur HIMARS dan sejumlah roket terkait.

Paket itu juga terdiri dari 32 Howitzer (meriam berlaras panjang) beserta 75.000 unit amunisi, 200 kendaraan antiserangan ranjau MRAP, serta ranjau Claymore.

Keakuratan serta jangkauan jarak jauh yang dimiliki HIMARS –buatan Lockheed Martin Corp– telah membantu Kiev melemahkan kekuatan artileri Rusia.

Pekan lalu, AS mengungkapkan paket persenjataan senilai 1,1 miliar dolar AS (sekitar Rp16,71 triliun) untuk Ukraina.

Paket tersebut termasuk 18 sistem peluncur HIMARS beserta amunisinya, serta berbagai tipe sistem drone dan radar.

Namun, paket yang diumumkan pekan lalu itu didanai melalui Inisiatif Bantuan Keamanan Ukraina (USAI).

Artinya, pemerintah AS harus mencari pengadaan persenjataan tersebut dari kalangan industri –bukan mengambil dari pasokan senjata yang dimiliki AS saat ini.

Rusia mendeklarasikan aneksasi pekan lalu setelah menggelar pemungutan suara, yang disebutnya sebagai referendum, di daerah-daerah Ukraina yang didudukinya.

Pemerintah negara-negara Barat serta Ukraina mengatakan pemungutan suara tersebut melanggar hukum internasional, dilakukan dengan pemaksaan, dan tidak representatif.