Dua pria yang diduga sebagai agen intelijen China didakwa berusaha menghalangi penyelidikan kriminal dan penuntutan hukum perusahaan raksasa teknologi China Huawei oleh Amerika Serikat, menurut dokumen pengadilan yang dibuka pada Senin (24/10).
Kasus-kasus itu diumumkan kepala FBI dan Departemen Kehakiman AS dalam sebuah konferensi pers bersama yang jarang dilakukan, yang dirancang sebagai unjuk kekuatan AS terhadap upaya intelijen China.
Washington telah lama menuduh Beijing ikut campur dalam urusan politik AS, mencuri rahasia dan kekayaan intelektual.
Sebelas warga China lainnya didakwa dalam berbagai kasus, termasuk gangguan terhadap individu di AS, yang Direktur FBI Christopher Wray sebut sebagai “serangan ekonomi dan pelanggaran hak-hak oleh China merupakan bagian dari persoalan yang sama.” “Mereka mencoba membungkam siapa saja yang melawan tindak pencurian yang mereka lakukan – perusahaan, politikus, individu – seperti halnya mereka mencoba membungkam siapa saja yang melawan agresi mereka yang lain,” katanya.
Kedua pria dalam kasus Huawei, Guochun He dan Zheng Wang, dituduh mencoba mengarahkan seorang individu dari pemerintah AS yang mereka yakini sebagai sekutu untuk memberikan informasi rahasia mengenai penyelidikan Departemen Kehakiman, termasuk tentang para saksi, bukti persidangan dan kemungkinan dakwaan-dakwaan baru.
Salah satu terdakwa membeli informasi itu seharga $61.000 (sekitar Rp951 juta), kata Departemen Kehakiman.
Departemen itu telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap keduanya, meski belum jelas apakah mereka akan ditahan.
Jaksa Agung AS Merrick Garland juga mengumumkan dakwaan terhadap empat warga China yang lain.
Mereka dituduh menggunakan kedok lembaga akademis untuk mencoba mendapatkan teknologi dan peralatan yang bersifat sensitif, serta menghalang-halangi protes yang “akan mempermalukan pemerintah China.” Sementara itu, dua orang lainnya ditangkap dan lima lainnya didakwa karena mengganggu seseorang yang tinggal di AS agar kembali ke China, sebagai bagian dari apa yang disebut Beijing sebagai “Operation Fox Hunt” atau perburuan orang-orang yang ‘licin.’ “Kasus-kasus hari ini memperjelas bahwa agen-agen China tidak akan ragu untuk melanggar hukum dan melanggar norma internasional dalam menjalankan tugas mereka,” kata Wakil Jaksa Agung Lisa Monaco.
Wang dan He dituduh mendekati seseorang yang mulai bekerja sebagai agen ganda bagi pemerintah AS, di mana komunikasi orang itu dengan para terdakwa diawasi oleh FBI.
Pada satu titik di tahun lalu, jaksa mengatakan bahwa orang yang tidak disebutkan namanya itu memberikan selembar dokumen kepada para terdakwa, yang tampak seperti dokumen rahasia dan berisi informasi tentang sebuah rencana untuk mendakwa dan menangkap pejabat eksekutif Huawei di AS.
Akan tetapi, dokumen tersebut sebenarnya sudah disiapkan oleh pemerintah AS untuk melakukan pendakwaan tersebut, di mana informasi yang terkandung di dalamnya adalah palsu.
Nama perusahaan itu tidak disebutkan dalam dokumen dakwaan, meskipun referensinya sudah jelas mengacu pada Huawei, yang didakwa pada 2019 atas kasus penipuan perbankan dan setahun kemudian dijerat dengan pasal baru berupa konspirasi pemerasan dan plot untuk mencuri rahasia dagang.
Juru bicara Huawei dan Kedutaan Besar China di Washington tidak segera menanggapi permohonan wawancara.
Huawei sebelumnya menyebut penyelidikan federal AS sebagai “persekusi politik.” “Menyerang Huawei tidak akan membantu AS tetap (menjadi) terdepan di tengah persaingan,” kata perusahaan itu dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada tahun 2020.
Dalam kasus yang terkait “Operation Fox Hunt,” jaksa menyebut para agen China mencoba mengintimidasi seseorang yang tidak disebutkan namanya dan keluarganya agar kembali ke China.
Dalam tuduhannya, AS menyebut sebagian dari plot itu melibatkan keponakan orang tersebut yang terbang ke AS sebagai bagian dari sebuah kelompok wisata untuk menyampaikan ancaman, termasuk, “pulang dan serahkan dirimu adalah satu-satunya jalan.”