Ambisi pribadi, disinformasi, dan politik etnis di balik kudeta Niger

0
97

Pemilu 2021 yang dianggap belum selesai oleh pihak yang kalah, tentara yang terkotak-kotak, politik identitas, konflik pribadi antara para pemimpin politik, dan disinformasi yang melibatkan asing, menyeruak dalam krisis Niger.

Kudeta yang terjadi pada 26 Juli 2023 adalah pengambilalihan kekuasaan secara ilegal kedua yang menimpa Mohamed Bazoum.

Dua tahun sebelumnya Presiden Niger dari etnis minoritas Arab itu juga pernah dikudeta pada 23 Februari 2021.

Kudeta 2021 gagal, sedangkan kudeta Juli 2023 berhasil, walau mengantarkan negara itu ke krisis yang meluas sampai kawasan hingga mendorong Masyarakat Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (ECOWAS) yang beranggotakan 15 negara, termasuk Niger, mengancam melakukan intervensi.

Jenderal Abdourahamane Tchiani ternyata menjadi tokoh kunci dalam dua kudeta itu.

Bedanya, pada kudeta 2021, kepala pasukan pengamanan presiden itu menjadi aktor utama yang menggagalkan kudeta dari sekelompok tentara angkatan udara pimpinan Kapten Sani Saley Gourouza.

Sebaliknya, pada kudeta Juli 2023, Tchiani menjadi pemimpin kudeta.

Tchiani menggulingkan Bazoum karena menganggap presiden ke-10 Niger dan kedua yang terpilih dalam pemilu demokratis itu, gagal mengatasi kaum ekstremis islamis yang rata-rata berafiliasi kepada Alqaeda dan ISIS.

Ironisnya, alasan itu juga digunakan para pemimpin militer Mali, Guinea, dan Burkina Faso yang masing-masing melancarkan kudeta pada 24 Mei 2021, 5 September 2021, dan 30 September 2022.

Namun, menurut sejumlah kalangan di Afrika Barat, Bazoum justru berhasil mengendalikan situasi keamanan di Niger, bahkan jauh lebih berhasil dibandingkan dengan junta Mali dan Burkina Faso.

Banyak kalangan menilai alasan sebenarnya Tchiani menggulingkan Bazoum adalah berkaitan dengan persaingan politik di antara Tchiani dan Bazoum.

Bazoum disebut-sebut ingin memensiunkan Tchiani, selain menolak usul militer agar Niger mendekatkan diri kepada junta Mali dan Burkina Faso, yang keduanya berbatasan dengan Niger di bagian barat.

Tiga negara itu termasuk dalam wilayah Sahel yang membentang dari pantai Samudera Atlantik sampai Laut Merah.

Negara-negara lain yang masuk kawasan Sahel adalah Senegal, Mauritania, Nigeria, Chad, Sudan, Sudan Selatan, dan Eritrea.

Karena mengetahui bakal disingkirkan oleh presiden yang justru sekutu politiknya itu, Tchiani pun melengserkan Bazoum dari kekuasaannya.

Namun, mustahil Tchiani berani menempuh langkah itu tanpa dukungan faksi-faksi politik yang anti-pemerintahan Bazoum, terutama dari para pendukung Mahamane Ousmane yang kalah dalam pemilihan presiden 2021.Terkotak-kotak Ousmane kalah dari Bazoum dengan perbandingan suara 44,25 persen melawan 55,75 persen, tetapi dia tak mengakui kekalahannya itu.

Dia justru menuding pemilu 2021 itu berlangsung curang.

Sengketa hasil pemilu itu sempat membuat Niger guncang untuk kemudian mengancam stabilitasnya.

Dalam situasi ini, sebuah faksi dalam militer Niger melancarkan kudeta.

Namun, kudeta ini gagal.

Perebutan kekuasaan oleh militer itu sendiri sudah sering terjadi di Niger.

Sejak merdeka dari Prancis pada 1960, Niger sudah mengalami enam kudeta, masing-masing pada 1974, 1996, 1999, 2010, 2021, dan 2023.

Lantas mengapa begitu sering terjadi kudeta di Niger? Menurut Olayinka Ajala, pakar hubungan internasional dari Afrika Selatan dan profesor tamu pada Leeds Beckett University di Inggris, setidaknya ada tiga faktor yang membuat Niger acap diguncang kudeta.

Pertama faktor ekonomi yang mana kemiskinan di negara itu telah menciptakan kerawanan sosial politik yang membuat negara itu tak stabil sehingga mendorong militer senantiasa berusaha masuk berkuasa lewat kudeta.

Faktor kedua adalah persaingan etnis.

Etnis terbesar di Niger adalah Hausa yang mengambil 56 persen dari total penduduk, disusul Zarma-Songhai (22 persen), Tuareg (8 persen), dan sisanya etnis-tenis kecil, termasuk etnis Arab.

Faktor ketiga adalah terkotak-kotaknya angkatan bersenjata Niger, yang tak seperti di kebanyakan negara demokrasi, justru terpilah-pilah dalam garis etnis.

Latar belakang etnis itu menjadi salah satu pemicu kudeta terhadap Bazoum, yang sebenarnya lama malang melintang dalam dunia politik Niger, sejak 1995 saat menjabat menteri luar negeri.

Bersama Mahamadou Issoufou, dia mendirikan Partai Demokrasi dan Sosialisme Niger (PNDS) pada 1990.

Ketika Issoufou menjabat Presiden Niger setelah memenangi Pemilu 2011, Bazoum kembali masuk kabinet, sampai terakhir menjadi menteri dalam negeri.

Dia dimajukan sebagai calon presiden dari Partai PNDS untuk Pemilu 2021, mengingat Issoufou tak bisa lagi mencalonkan diri karena sudah dua periode menjabat presiden.

Issoufou sendiri mendukung Bazoum karena menginginkan program politiknya dilanjutkan oleh pemerintahan berikutnya.

Bazoum lalu memenangi Pemilu 2021, tapi kubu oposisi menuding pemilu itu curang.

Menurut oposisi, justru Mahamane Ousmane adalah pemenang zpemilu 2021.

Ousmane adalah presiden pertama Niger yang terpilih dalam pemilu demokratis pada 1993.Reformasi militer Oposisi Niger terus mempertanyakan keabsahan pemerintahan Bazoum.

Mereka bahkan menganggap Bazoum antek asing, sebagian karena latar belakang etnisnya dari minoritas Arab.

Satu dua tahun, Bazoum masih bisa melawan politik identitas itu, tapi setelah Burkina Faso jatuh ke pelukan junta, sentimen etnis di Niger kembali membesar.

Sentimen itu tak begitu mencemaskan sepanjang militer masih bersama Bazoum.

Tetapi begitu militer terganggu, situasi pun berubah.

Salah satu yang mengganggu militer adalah rencana Bazoum mereformasi militer dan kepolisian Niger.

Begitu Bazoum mengganti panglima angkatan bersenjata dan kepala kepolisian Niger pada April 2023, militer Niger termasuk Jenderal Abdourahamane Tchiani, kian menganggap Bazoum sebagai ancaman mereka.

“Pengikut setia Mahamadou Issoufou yang mengomandani pasukan pengamanan presiden sejak 2011 itu, tahu dia tengah terancam oleh Bazoum,” kata Rahmane Idrissa, peneliti ilmu politik Pusat Studi Afrika pada Universitas Leiden, Belanda, kepada Le Monde, merujuk Jenderal Tchiani.

Saat bersamaan, disinformasi semakin marak di Niger, terutama setelah Burkina Faso dan Mali yang bertetangga dengan Niger dikuasai oleh junta.

Kedua negara ini mendapatkan payung keamanan dari tentara bayaran Rusia, Wagner Group, yang pemimpinnya, Yevgeny Prigozhin, memiliki jaringan media yang piawai memproduksi dan menyebarluaskan disinformasi di seluruh dunia.

Walaupun Wagner dan Rusia tak terlibat dalam kudeta Niger, sentimen pro-Rusia menjadi semakin kental di Niger, sebagian karena disinformasi itu.

Sebaliknya, sentimen anti-Prancis di Afrika Barat, terutama Niger, Mali dan Burkina Faso, semakin besar, juga sebagian karena disinformasi.

Yang lebih gawat adalah disinformasi itu memunculkan narasi bahwa Bazoum boneka asing, khususnya Prancis, terutama setelah Bazoum menyediakan wilayah Niger sebagai pangkalan militer Prancis setelah bekas penguasa kolonial di Afrika Barat itu terusir dari Burkina Faso dan Mali.

Sebaliknya, organisasi kawasan ECOWAS tak ingin “wabah kudeta” menjalar ke mana-mana.

ECOWAS mati-matian menghentikan siklus kudeta di Afrika Barat setelah gagal mengembalikan pemerintahan terpilih lewat mekanisme demokratis di Mali, Guinea, dan Burkina Faso.

ECOWAS menyokong Bazoum karena menginginkan keberlanjutan tatanan demokratis di Niger.

Negara kaya uranium dan bahan mineral itu juga diamati lekat-lekat oleh Amerika Serikat dan Rusia, sedangkan Prancis tampaknya sudah mati langkah akibat sentimen anti-Prancis yang luas di Afrika Barat.

Amerika Serikat yang awalnya mengecam kudeta Niger, memutuskan tetap berkomunikasi dengan junta Niger, guna mencegah negara itu jatuh ke dalam pelukan Rusia, melalui Wagner Group, seperti terjadi pada Mali, Republik Afrika Tengah dan Burkina Faso.

Kini, semua mata tertuju kepada ECOWAS, apakah organisasi kawasan itu mampu mendorong pulihnya lagi tatanan demokrasi di Niger, atau justru membuat Afrika Barat kian terseret masuk lingkaran setan kudeta militer.

COPYRIGHT © ANTARA 2023