Evakuasi di bandara Kabul berlanjut, Biden bela keputusannya

0
73

Pesawat-pesawat militer melanjutkan proses evakuasi diplomat dan warga sipil dari Afghanistan pada Selasa pagi setelah landasan pacu bandara Kabul dikosongkan dari ribuan orang yang ingin melarikan diri setelah Taliban merebut ibu kota itu.

Jumlah warga sipil di bandara tersebut telah berkurang, kata pejabat keamanan Barat di sana.

Sehari sebelumnya terjadi kekacauan di bandara itu.

Pasukan AS melepaskan tembakan ke udara untuk membubarkan kerumunan dan orang-orang yang berpegangan pada pesawat angkut militer AS saat akan tinggal landas.

“Banyak orang yang berada di sini kemarin sudah pulang,” kata pejabat tersebut.

Namun, sejumlah saksi mengatakan kepada Reuters kadang mereka masih mendengar letusan dari arah bandara, sementara jalan-jalan di kota itu tampak tenang.

Pasukan AS pada Minggu mengambil alih bandara tersebut, satu-satunya akses untuk ke luar dari Afghanistan, setelah militan Taliban meraih kemenangan cepat dalam sepekan dengan merebut ibu kota Kabul tanpa perlawanan.

Sebagian besar penerbangan ditunda pada Senin, ketika sedikitnya lima orang tewas, kata saksi, tanpa diketahui dengan jelas penyebabnya, apakah tertembak atau terinjak-injak oleh massa.

Media melaporkan dua orang meninggal akibat terjatuh dari pesawat militer AS setelah pesawat itu tinggal landas.

Tubuh mereka jatuh di atap rumah dekat bandara.

Seorang pejabat AS mengatakan tentara AS telah menewaskan dua orang bersenjata yang menembak ke arah kerumunan orang di bandara.

Terlepas dari situasi panik dan membingungkan di Kabul, Presiden AS Joe Biden membela keputusannya untuk menarik mundur pasukan AS dari Afghanistan setelah berperang 20 tahun yang dia sebut telah menghabiskan dana lebih dari 1 triliun dolar (sekitar Rp14.392,3 triliun).

Namun sebuah video pada Senin yang memperlihatkan ratusan warga Afghanistan tengah berusaha menaiki pesawat militer AS dapat menghantui AS, seperti halnya sebuah foto pada 1975 tentang orang-orang yang berebut menaiki helikopter di atas gedung di Saigon menjadi simbol memalukan penarikan diri AS dari Vietnam.

Biden menegaskan dia harus memilih, meminta pasukan AS bertempur tanpa akhir dalam “perang sipil” Afghanistan atau mengikuti kesepakatan penarikan yang dinegosiasikan pendahulunya, Donald Trump.

“Saya berdiri tegak di belakang keputusan saya,” kata Biden.

“Setelah 20 tahun saya belajar dengan cara yang sulit bahwa tidak akan pernah ada waktu yang tepat untuk menarik pasukan AS.

Itu sebabnya kita masih ada di sana.” Menghadapi berbagai kritik, bahkan dari para diplomatnya sendiri, Biden menyalahkan kemenangan Taliban kepada para pemimpin Afghanistan yang kabur dan tentara mereka yang enggan untuk melawan.

Taliban mengambil alih kota-kota terbesar Afghanistan dalam hitungan hari, bukan beberapa bulan seperti prediksi intelijen AS, setelah pasukan pemerintah yang tak bersemangat menyerah meski dilatih bertahun-tahun dan diperlengkapi oleh AS dan negara lain.

Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengatakan pada Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken bahwa penarikan tentara AS secara gegabah memiliki “dampak negatif yang serius”, kata media penyiaran pemerintah China CCTV, seraya menambahkan bahwa Wang berjanji akan bekerja sama dengan Washington untuk mempromosikan stabilitas keamanan.

Blinken pada Senin juga berbicara dengan koleganya di Pakistan, Rusia, Inggris, Uni Eropa, Turki dan NATO untuk memastikan stabilitas kawasan, kata Departemen Luar Negeri AS.Rezim Baru Presiden Ashraf Ghani meninggalkan Afghanistan pada Minggu ketika militan Taliban menduduki Kabul.

Dia mengatakan ingin menghindari pertumpahan darah.

Mantan teknokrat Bank Dunia itu mendapat kritik tajam dari banyak tokoh, termasuk kepala bank sentral Ajmal Ahmady yang menyalahkan presiden dan para penasihatnya yang kurang berpengalaman atas kejatuhan Afghanistan.

“Harusnya tak berakhir seperti ini.

Saya muak dengan kurangnya perencanaan dari pemimpin Afghanistan,” kata Ahmady, yang juga keluar dari negara itu pada Minggu, di Twitter.

Dewan Keamanan PBB menyerukan pembicaraan untuk menyusun pemerintahan baru di Afghanistan setelah Sekjen PBB Antonio Guterres memperingatkan tentang pembatasan hak asasi manusia yang “mengerikan” dan pelanggaran terhadap hak-hak perempuan dan anak perempuan di negara itu.

Ketakutan yang sama juga disuarakan oleh peraih Nobel Perdamaian Malala Yousafzai.

Mantan komandan faksi dan perdana menteri Afghanistan Gulbuddin Hekmatyar mengatakan dia akan terbang ke Doha pada Selasa untuk bertemu dengan delegasi Taliban, bersama mantan presiden Hamid Karzai dan mantan menteri luar negeri dan utusan perdamaian Abdullah Abdullah, kata stasiun TV Al Jazeera.

Banyak warga Afghanistan takut Taliban akan kembali menerapkan tindakan-tindakan kasar.

Selama mereka memerintah pada 1996-2001, wanita dilarang bekerja dan hukuman seperti pelemparan batu, pencambukan, dan penggantungan, diberlakukan.

Juru bicara Taliban Suhail Shaheen mengatakan pada Dunya News bahwa kelompok itu akan meningkatkan keamanan di Kabul dan “menghormati hak-hak perempuan dan kaum minoritas sesuai norma-norma Afghanistan dan nilai-nilai Islam”.

Shaheen menambahkan rezim baru akan memastikan adanya perwakilan dari semua etnis, dan Taliban akan bekerja sama dengan komunitas internasional untuk membangun kembali negara itu.

Shaheen mengatakan lewat Twitter bahwa para pejuang Taliban sudah diperintahkan secara tegas untuk tidak menyakiti siapa pun.

“Kehidupan, harta dan kehormatan siapa pun tidak boleh dirugikan namun harus dilindungi oleh mujahidin,” kata dia.