Biden dan Masa Depan Ekspor Sawit Indonesia ke Amerika

0
67
Former Vice President Joe Biden hasn't hidden his presidential aspirations since leaving office in 2017, and didn't appear deterred by accusations of inappropriate contact over the past several weeks either.

Bagi sejumlah kalangan, terpilihnya Joe Biden dan Kamala Harris sebagai pemimpin Amerika Serikat, memiliki dua makna.

Satu sisi, sikap keduanya dan pemerintahan Partai Demokrat secara umum dianggap lebih akomodatif.

Namun, di sisi lain keberpihakan mereka terhadap isu lingkungan bisa menjadi ancaman sejumlah aktor bisnis.

Salah satu yang patut khawatir, adalah aktor sawit di Indonesia, ujar Halim Kalla, dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

Halim adalah Wakil Ketua Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan Hidup Kadin.

“Saya terus terang bersyukur Joe Biden terpilih, saya memang memilih Demokrat daripada Republik, Saya kira Biden lebih wise daripada Trump.

Tetapi kita ingat, bahwa Demokrat ini aktor lingkungannya tinggi.

Contohnya saja, dia kembali ke Perjanjian Paris,” kata Halim, dalam diskusi yang diselenggarakan Auriga Nusantara, Selasa (9/2).

Produk Ramah Lingkungan Seperti juga di Indonesia, Amerika di bawah Biden akan memberi perhatian lebih ke sejumlah isu seperti menurunkan pemanasan global, pengurangan emisi gas rumah kaca, hingga energi terbarukan.

Biden, dinilai Halim, akan menerapkan kebijakan lebih ketat untuk komoditas yang diekspor ke Amerika.

Faktor ramah lingkungan akan menjadi salah satu syarat.

“Apapun yang kita ekspor ke Amerika, pemerintah sana pasti melihat apakah produk yang diekspor ke Amerika masuk sustainable, bersih lingkungan, dan juga kebijakan tenaga kerja yang lebih manusiawi,” tambah Halim.

Perhatian besar pemeritahan Biden terhadap lingkungan membawa dua konsekuensi, menguntungkan dan sekaligus mengkhatirkan.

Menurut Halim, ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) ke Amerika terbuka lebar setelah penerapkan kebijakan baru di sektor kesehatan mulai tahun 2018.

Pada periode sebelum tahun 2015, total volume ekspor CPO Indonesia ke Amerika hanya sebesar 100 ribu metrik ton setiap tahun.

Pada 2020, angka itu mencapai 1,2 juta metrik ton per tahun, angka yang cukup signifikan dari 5 juta metrik ton produksi sawit Indonesia.

“Peningkatan ekspor ini disebabkan kebijakan baru sektor kesehatan, yaitu adanya pelarangan dari FDA Amerika untuk menggunakan TransFat Acid atau lemak trans dan GMO, genetically modified organism, yakni rekayasa genetika yang sangat berbahaya untuk kesehatan,” jelas Halim.

CPO Indonesia dianggap bisa mengganti GMO dan tidak mengandung TransFat Acid, yang banyak ditemukan pada minyak olahan kedelai dan jagung.

Sejak era Presiden Obama pada 2012, ada regulasi untuk CPO Indonesia dalam NODA (notices of data availability) Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) atau yang dikenal sebagai REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) di Uni Eropa.

Sesuai NODA EPA ini, CPO Indonesia dinilai tidak memenuhi standar Amerika untuk penggunaan biodiesel, dan kalah dari produk berbahan bunga matahari dari Eropa.

Produk biodiesel Indonesia, masih dikenakan bea masuk 300 pesen oleh Badan Komisi Perdagangan Internasional AS (USITC).

Halim meyakini, kebijakan Biden akan kembali seperti era Obama.

Akan ada sejumlah syarat dalam bisnis sawit seperti tidak adanya pelanggaran HAM dalam operasional perkebunan.

Amerika juga akan fokus dalam isu hak pekerja dan pekerja anak di industri sawit, yang selama ini sering menjadi sorotan.

Bidan, lanjut Halim, akan menaruh perhatian lebih pada konsep pembangunan berkelanjutan untuk perkebunan sawit.

Kebijakan Sawit Lebih Ketat Dua sisi mata uang kemenangan Biden bagi industri sawit Indonesia juga diakui Suzie Sri Suparin S.

Sudarman, Direktur Pusat Kajian Amerika, Universitas Indonesia.

Berbicara dalam diskusi yang sama, Suzie menyebut kebijakan Biden tidak terlampau menguntungkan sawit Indonesia.

“Karena dia antithesis dari Presiden Trump, terutama dalam kebijakan yang menyangkut lingkungan hidup.

Kebijakan Biden akan menghambat energi yang berdasarkan fosil dan minyak sawit, karena keduanya jauh dari upaya pelestarian lingkungan,” ujar Suzie.

Namun di sisi lain, ekspor komoditas Indonesia akan pulih dengan kemenangan Biden karena akan meredakan perang dagang global.

Suzie menambahkan, Biden telah menjanjikan diadakannya pertemuan tingkat tinggi internasional untuk menaikkan kembali ambisi global penanganan perubahan iklim.

Langkah ini akan berpengaruh terhadap organisasi-organisasi multilateral untuk menanggulangi perubahan iklim.

Banyak perusahaan sawit memperkirakan, di era Biden ini LSM antisawit akan semakin agresif, papar Suzie.

Secara politik, menurut Suzie, Biden didukung oleh koalisi progressive intersectionality besar yang mengikutsertakan generasi Z yang cenderung menjadi kelompok hijau.

Mereka, lanjut Suzie, menyatakan akan kebutuhan budaya lingkungan yang aman dan kontrol terhadap penggunaan senjata api.

“Dukungan kelompok progresif dan kaum muda mewajibkan Presiden Biden untuk merubah tatanan yang mengabaikan perubahan iklim di masa Presiden Trump, dan mengatur kembali kebijakan federal soal regulasi iklim,” tambah Suzie.

Namun, di dalam negeri, Biden akan menghadapi tantangan dalam menyelaraskan kepentingan implementasi kebijakan perubahan iklim.

Di sisi lain, dia membutuhkan upaya khusus dalam menanggulangi pengangguran.

Hubungan yang menarik antara pegiat lingkungan yang progresif dengan serikat buruh akan terjadi.

Biden menganggarkan anggaran besar untuk energi bersih, dengan harapan akan menciptakan lapangan kerja baru bersamaan mengatasi perubahan iklim.

Kedua isu ini akan menguras perhatian, karena Biden menghadapi kenyataan bahwa Demokrat hanya memiliki mayoritas tipis di Kongres.

Berbicara dalam diskusi yang sama, Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice menyebut tantangan Indonesia ke depan adalah memenuhi persyaratan stadar.

“Kalau konteksnya kita ingin berdagang, tidak ada satu perdagangan yang benar-benar bebas.

Semuanya akan tergantung dengan negara penerima barang dan Indonesia sendiri,” kata Rachmi.

Karena itu, terkait bisnis sawit, Indonesia memang harus bisa menerima apa yang ditetapkan negara penerima produk, sebagai persyaratan standar mereka.

Misalnya, jika Indonesia akan menjual sawit ke Swiss, maka produk itu harus memenuhi syarat yang ditetapkan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA) di mana Swiss tergabung di dalamnya.

Begitupun bisnis sawit Indonesia dan Amerika ke depan.

Sudah menjadi kewajaran, apabila sektor sawit Indonesia harus mampu memenuhi semua standar yang ditetapkan pemerintahan Biden.

Harus dipahami, bahwa kebijakan itu akan diterapkan secara merata kepada semua mitra dagang Amerika, dan bukan hanya berlaku untuk Indonesia