Sepuluh mantan menteri pertahanan AS, Minggu (3/1), memperingatkan agar militer tidak dilibatkan terkait klaim mengenai kecurangan pemilu, dengan alasan ini akan membawa negara ke “wilayah berbahaya, melanggar hukum dan tidak konstitusional.” Kesepuluh orang itu, baik dari Partai Demokrat maupun Republik, membubuhkan nama mereka dalam artikel opini yang diterbitkan The Washington Post.
Menyusul Pemilu 3 November dan penghitungan ulang suara di beberapa negara bagian serta gugatan hukum yang tidak sukses di pengadilan, hasilnya jelas, tulis mereka, meski tidak menyebut Trump secara jelas dalam artikel itu.
“Waktunya untuk mempertanyakan hasil telah berlalu, waktu untuk penghitungan resmi suara elektoral, sebagaimana diatur dalam Konstitusi dan undang-undang, telah tiba,” tulis mereka.
Para mantan pimpinan Pentagon itu memperingatkan agar tidak menggunakan militer dalam upaya apapun untuk mengubah hasil pemilu.
“Berbagai upaya untuk melibatkan angkatan bersenjata AS dalam menyelesaikan sengketa pemilu akan membawa kita ke wilayah yang berbahaya, melanggar hukum dan tidak konstitusional,” tulis mereka.
“Para pejabat sipil dan militer yang mengarahkan atau melakukan langkah-langkah tersebut akan dituntut pertanggungjawabannya, termasuk kemungkinan menghadapi hukuman pidana, atas konsekuensi berat tindakan mereka terhadap republik kita.” Beberapa pejabat militer senior, termasuk Jenderal Mark Milley, Ketua Gabungan Kepala Staf, secara terbuka telah menyatakan dalam beberapa pekan ini bahwa militer tidak punya peran apapun dalam menentukan hasil pemilu AS, dan bahwa loyalitas mereka adalah kepada Konstitusi, bukan kepada seorang pemimpin atau suatu partai.
Mereka juga memperingatkan dalam artikel itu mengenai bahaya menghambat transisi penuh dan mulus di Departemen Pertahanan sebelum Hari Pelantikan sebagai bagian dari peralihan kekuasaan kepada presiden terpilih Joe Biden.
Biden telah mengeluhkan upaya-upaya para pejabat yang diangkat Trump untuk menghambat transisi itu.
Tanpa menyebut contoh khusus, para mantan menteri pertahanan itu menulis bahwa peralihan kekuasaan “kerap terjadi pada waktu ketidakpastian internasional mengenai kebijakan dan postur keamanan nasional AS,” dan menambahkan, “Itu dapat merupakan momen ketika negara rentan terhadap aksi-aksi musuh yang ingin memanfaatkan situasi.” Ketegangan dengan Iran mewakili momen semacam itu.
Hari Minggu (3/1) menandai satu tahun sejak AS membunuh Qassem Soleimani, jenderal senior Iran.
Iran telah bertekad untuk membalas pembunuhan itu, dan para pejabat AS mengatakan dalam beberapa hari ini bahwa mereka dalam kesiagaan yang ditingkatkan bagi kemungkinan serangan Iran terhadap pasukan atau kepentingan AS di Timur Tengah.
Mereka yang membubuhkan nama dalam artikel opini itu di the Post itu adalah Dick Cheney, William Perry, Donald Rumsfeld, William Cohen, Robert Gates, Leon Panetta, Chuck Hagel, Ash Carter, James Mattis dan Mark Esper.
Mattis adalah menteri pertahanan pertama Trump.
Ia mengundurkan diri pada tahun 2018 dan digantikan oleh Esper, yang dipecat hanya beberapa hari setelah pemilu 3 November.
The Post melaporkan gagasan menulis opini itu dimulai dengan percakapan antara Cheney dan Eric Edelman, pensiunan duta besar dan mantan pejabat senior Pentagon, mengenai bagaimana Trump mungkin berusaha memanfaatkan militer dalam beberapa hari mendatang.