AS Tolak Ikut Upaya Global untuk Kembangkan Vaksin Covid-19

0
69

Amerika Serikat menyatakan tidak akan berpartisipasi dalam prakarsa global untuk mengembangkan, memproduksi dan mendistribusikan secara merata vaksin bagi Covid-19 karena Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengambil peran memimpin dalam upaya tersebut.

Lebih dari 170 negara sedang dalam pembicaraan untuk berpartisipasi dalam Fasilitas Akses Global Vaksin Covid-19, disingkat Covax, proyek bersama yang dilakukan WHO, Koalisi bagi Inovasi Kesiagaan Epidemi serta Gavi, The Vaccine Alliance, suatu organisasi yang didirikan Bill dan Melinda Gates untuk mengimunisasi anak-anak di negara-negara termiskin di dunia.

Presiden Donald Trump menarik AS mundur dari WHO Juli lalu, setelah mengklaim bahwa organisasi itu salah menangani wabah virus corona dan menunjukkan keseganan terhadap China, di mana virus itu dideteksi pertama kali pada akhir tahun lalu.

Juru Bicara Gedung Putih Judd Deere mengeluarkan pernyataan yang mengemukakan AS “akan terus berdialog dengan mitra-mitra internasional untuk memastikan kita mengalahkan virus ini, tetapi kami tidak akan dibatasi oleh organisasi multilateral yang dipengaruhi oleh WHO yang korup dan China.” Surie Moon, salah seorang direktur Pusat Kesehatan Global di Graduate Institute of International and Development Studies di Jenewa, mengatakan kepada The Washington Post bahwa sewaktu AS memutuskan untuk tidak “berpartisipasi dalam upaya multilateral apapun untuk mengamankan vaksin, ini merupakan pukulan nyata.” Pemerintahan Trump telah meluncurkan prakarsa vaksin Covid-19-nya sendiri, Operation Warp Speed, yang bertujuan untuk menyediakan 300 juta dosis vaksin berizin pada Januari mendatang.

Prakarsa ini telah mendistribusikan miliaran dolar ke beberapa perusahaan farmasi untuk mengembangkan, memproduksi dan mengetes vaksin yang potensial.

Presiden Trump akan mengeluarkan berapapun dana yang diperlukan untuk memastikan bahwa suatu vaksin baru yang sesuai standar terbaik keamanan dan kemanjuran yang ditetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA), diuji secara menyeluruh, dan menyelamatkan jiwa, kata Deere dalam pernyataannya.

Prakarsa pemerintahan Trump ini adalah satu di antara banyak lainnya di seluruh dunia yang bertujuan untuk segera menghasilkan vaksin Covid-19, dengan beberapa di antaranya sedang melaksanakan tahap akhir dalam uji coba terhadap manusia.

Tetapi pernyataan yang baru-baru ini dikemukakan Komisioner FDA Dr.

Stephen Hahn, bahwa lembaganya akan mempertimbangkan otorisasi penggunaan darurat suatu vaksin sebelum tuntasnya uji coba tahap akhir pada manusia, telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan para pejabat WHO hari Senin.

Dr.Soumya Swaminathan, kepala ilmuwan WHO, mengatakan, pemberian izin semacam itu harus dilakukan dengan keseriusan dan pertimbangan yang sangat besar.

Ini bukan sesuatu yang dapat dilakukan dengan mudah, katanya.

Plasma darah pasien yang sembuh Suatu panel pakar kesehatan pemerintah Amerika menyatakan sejauh ini tidak ada bukti bahwa plasma darah pasien yang sembuh dari Covid-19 merupakan pengobatan efektif bagi para pasien virus corona untuk membantu membangun kekebalan tubuh mereka.

Plasma darah semacam itu berasal dari para pasien yang telah sembuh dari virus corona, dan kaya antibodi.

FDA menyetujui otorisasi darurat bagi penggunaan plasma darah pasien yang sembuh itu pada 23 Agustus, suatu keputusan yang disebut Presiden Trump “benar-benar bersejarah.” Tetapi suatu panel terdiri dari 30 lebih pakar dari National Institutes of Health Selasa mengeluarkan pernyataan bahwa “tidak ada cukup data untuk merekomendasikan atau menolak” penggunaan plasma darah pasien yang sembuh, dan mengatakan para dokter tidak boleh mengandalkannya sebagai standar perawatan sebelum lebih banyak penelitian dilakukan.

Sehari setelah mengumumkan tentang otorisasi darurat itu, Hahn meminta maaf karena tampaknya telah melebih-lebihkan manfaat penggunaan plasma darah dari pasien yang sembuh.

Dr.Hahn mengukuhkan kembali klaim yang dikemukakan Trump dan Menteri Kesehatan Alex Azar mengenai 35 persen penurunan mortalitas di kalangan mereka yang berusia 80 tahun ke bawah yang tidak menggunakan respirator, satu bulan setelah menerima perawatan pada awal sakit mereka.

Tetapi para pengecam menyatakan klaim pemerintah itu terlalu melebih-lebihkan temuan awal dari suatu penelitian yang dilakukan lembaga bergengsi Mayo Clinic, seraya menyatakan penelitian itu tidak memiliki kelompok pembanding dari pasien Covid-19 yang tidak dirawat.

Dr.Hahn mengakui fakta ini dalam cuitan berisi permintaan maaf atas pernyataannya, seraya menjelaskan bahwa ia seharusnya menyatakan bahwa data menunjukkan “pengurangan risiko relatif bukannya pengurangan risiko absolut.”