Presiden Dewan Keamanan (DK) PBB, Selasa (25/8), mengatakan tidak dicapai konsensus bagi pemulihan sanksi internasional terhadap Iran di dewan yang beranggotakan 15 negara.
Dia juga tidak akan mengambil tindakan lebih jauh terhadap tuntutan AS bagi pemberlakuan kembali sanksi-sanksi itu.
“Jelas bagi saya bahwa ada satu negara anggota, yang punya pendapat khusus atas isu ini sementara sejumlah negara anggota lain punya pandangan berlawanan,” kata Dian Triansyah Djani, Dubes Indonesia di PBB yang merangkap Presiden DK PBB.
“Dalam pandangan saya, tidak ada consensus di dalam Dewan, jadi presiden dewan tidak berwenang untuk mengambil tindakan lebih jauh.” Minggu lalu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo datang ke New York dan secara pribadi memberitahu PBB bahwa AS akan memicu sebuah mekanisme berdasarkan resolusi DK PBB berkaitan dengan persetujuan nuklir 2015 yang akan menghidupkan kembali sanksi-sanksi terhadap Iran pada 2006.
Negara-negara lainnya, yang juga penanda tangan persetujuan itu, menganggap tindakan seperti itu tidak sah.
Menurut mereka, AS sudah menarik diri dari JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action) pada Mei 2018, dan dengan demikian sudah tidak berhak memicu proses tersebut.
Washington menampik interpretasi itu dengan beralasan AS berhak menghidupkan kembali sanksi karena AS adalah peserta dalam resolusi DK tersebut.
Pada 14 Agustus, AS berusaha meloloskan sebuah resolusi di DK untuk memperbaharui embargo senjata terhadap Iran, berdasarkan syarat-syarat JCPOA.
Embargo itu akan kedaluwarsa pada 18 Oktober mendatang.
Langkah itu gagal, dan hanya satu anggota Dewan, Republik Dominika, mendukung Washington.