Hampir dua tahun setelah penarikan pasukan AS dari Afghanistan yang berjalan kacau, pernyataan Presiden AS Joe Biden Jumat (30/6) lalu bahwa Taliban membantu AS mengusir Al-Qaeda dari Afghanistan kembali memicu kontroversi tentang kehadiran kelompok-kelompok teroris di negara itu sekaligus perjanjian yang mengakhiri perang di Afghanistan.
“Ingat apa yang saya katakan soal Afghanistan? Saya bilang Al-Qaeda tidak akan (lagi) ada di sana.
Saya bilang kelompok itu tidak akan (lagi) ada di sana.
Saya bilang kita akan mendapat bantuan dari Taliban,” ungkap Biden hari Jumat.
“Sekarang apa yang terjadi? Apa yang sedang terjadi? Baca berita.
Saya benar, kan.” Biden menyampaikan hal itu ketika menjawab pertanyaan tentang laporan Departemen Luar Negeri AS baru-baru ini yang menyoroti kekurangan pemerintahan Trump dan Biden sebagai penyebab utama kekacauan proses penarikan pasukan militer AS dari Afghanistan pada Agustus 2021.
Pernyataan Biden tersebut langsung memicu kontroversi.
Salah seorang mantan kepala intelijen Afghanistan mengutip pernyataan Biden untuk menegaskan kembali kritik lamanya tentang perjanjian damai tahun 2020 antara pemerintahan Trump pada saat itu dengan Taliban – perjanjian yang mengakhiri perang di sana.
Rahmatullah Nabil menjabat kepala Direktorat Keamanan Nasional Afghanistan dari 2010 hingga 2012.
Dalam cuitannya hari Sabtu (1/7), ia mengejek pernyataan Biden, dengan bercanda menyebut pernyataan itu membuat Taliban seolah-olah mitra paramiliter AS, mirip kelompok tentara bayarannya Rusia, Wagner.
Ia mengatakan bahwa Biden telah “membuat terobosan dengan mengungkap lampiran tersembunyi dari perjanjian Doha, memperjelas peran Taliban sesungguhnya sebagai Kelompok Wagner-nya Amerika Serikat di wilayah ini.” Di bawah perjanjian Doha, sebagai imbalan atas penarikan pasukan AS dari Afghanistan, Taliban sepakat untuk mencegah negara itu menjadi suaka teroris dan berhenti menyerang tentara AS.
Klaim Biden bahwa Al-Qaeda telah keluar dari Afghanistan juga bertentangan dengan laporan PBB Februari lalu yang menyimpulkan bahwa kelompok-kelompok teroris, termasuk Al-Qaeda, “menikmati kebebasan yang lebih besar untuk bergerak di Afghanistan berkat ketiadaan strategi keamanan Taliban yang efektif,” dan “memanfaatkannya dengan baik.” Mengakhiri Perang Terlama AS Saat diminta mengklarifikasi pernyataan Biden, juru bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre mengatakan bahwa presiden harus mengambil keputusan yang sulit saat mengakhiri perang terlama negaranya itu.
“Dan ia juga ingin – seperti yang ia sampaikan di akhir pernyataannya – memastikan bahwa kita tetap waspada terhadap terorisme,” ungkapnya dalam keterangan pers hari Jumat.
“Kami menangani seorang pemimpin Al-Qaeda tanpa pasukan di lapangan,” tambah Jean-Pierre.
Ia merujuk pada pembunuhan Ayman al-Zawahiri dengan rudal drone AS di pusat kota Kabul, lokasi di mana menurut pemerintah AS ia tinggal sebagai tamu Taliban.
Seorang pejabat AS, yang berbicara kepada VOA dengan syarat anonim agar dapat membahas masalah intelijen, mengatakan bahwa yang dimaksud Presiden Biden dengan “bantuan” Taliban adalah operasi Taliban April lalu yang menewaskan seorang pemimpin ISIS-K, atau dikenal sebagai Negara Islam Khorasan, afiliasi ISIS di Afghanistan.
Dewan Keamanan Nasional mengklaim sosok itu sebagai otak serangan bom bunuh diri mematikan di Gerbang Abbey bandara internasional Kabul tahun 2021 lalu, yang menewaskan 13 tentara AS dan sedikitnya 160 orang Afghanistan.
Penilaian Biden soal Al-Qaeda di Afghanitan menyoroti perpecahan antara Washington dan PBB terkait keberadaan kelompok-kelompok teroris di Afghanistan dan ancaman mereka di wilayah itu.
Sebuah laporan PBB yang terbit awal tahun ini menyimpulkan bahwa kelompok itu diperkirakan akan tetap berada di Afghanistan dalam waktu dekat, membuat negara itu tetap menjadi “sumber utama ancaman teroris bagi Asia Tengah dan Selatan.” “Ikatan Al-Qaeda dan Taliban tetap erat,” kata laporan Tim Dukungan Analitis dan Pemantauan Sanksi PBB, yang didasarkan pada intelijen negara-negara anggota.
Pemerintah AS telah menolak laporan PBB tersebut dan menekankan bahwa Al-Qaeda di Afghanistan bukanlah ancaman bagi tanah air (Amerika Serikat), mengingat Washington mengandalkan kemampuan “over-the-horizon” sejak menarik pasukannya.
Istilah itu adalah eufemisme serangan drone dan langkah-langkah lain pasukan operasi khusus.
Pejabat AS tersebut mengatakan bahwa pemerintah Biden menilai kelompok teroris itu “tidak memiliki kemampuan untuk melancarkan serangan terhadap AS maupun kepentingannya di luar negeri dari Afghanistan.” “Kami tidak memiliki petunjuk bahwa individu Al-Qaeda di Afghanistan terlibat dalam perencanaan serangan eksternal,” katanya.
“Tentu kami akan terus memantaunya dengan cermat.” Juru bicara kementerian luar negeri Taliban, Abdul Qahar Balkhi, menyambut baik pernyataan Biden sebagai “pengakuan akan kenyataan” bahwa tidak ada entitas teroris yang beroperasi di Afghanistan di bawah kepemimpinan Taliban.
Michael Kugelman, wakil direktur South Asia Program di Wilson Center, skeptis terhadap klaim tersebut.
Taliban mengejar musuh bebuyutan mereka, ISIS-K, tapi belum berbuat banyak untuk mengekang kehadiran Al-Qaeda dan sebagian besar kelompok teroris lain di Afghanistan, ungkapnya kepada VOA.
“Taliban tidak dikenal suka melawan sekutu militannya, sehingga saya tidak punya alasan untuk percaya bahwa kelompok itu berusaha menumpas Al-Qaeda atau sisa-sisa keberadaannya dari tanah Afghanistan,” kata Kugelman.