ASEAN dorong percepatan perundingan panduan tata perilaku di LCS

0
71

Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menyambut inisiatif untuk mempercepat perundingan panduan tata perilaku (code of conduct/CoC) di Laut China Selatan (LCS), yang diharapkan bisa mencegah konflik di perairan strategis itu.

Dalam Chair’s Statement yang dirilis usai KTT ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, pada Kamis, para pemimpin ASEAN menekankan pentingnya menjaga situasi yang kondusif selama perundingan CoC dan mendorong langkah-langkah yang bisa mengurangi ketegangan, kesalahpahaman, atau salah perhitungan.

“Kami menegaskan kembali perlunya meningkatkan rasa saling percaya, menahan diri dalam melakukan aktivitas yang akan memperumit atau meningkatkan perselisihan dan memengaruhi perdamaian dan stabilitas, serta menghindari tindakan yang dapat semakin memperumit situasi,” demikian bunyi pernyataan tersebut.

Empat negara anggota ASEAN–Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Vietnam–terlibat sengketa klaim atas perairan LCS dengan China.

Untuk menyelesaikan konflik yang telah berlangsung selama beberapa dekade itu, ASEAN melibatkan China dalam menyusun CoC yang akan menjadi pedoman perilaku negara-negara di LCS.

Proses perundingan rancangan teks perundingan CoC (Single Draft COC Negotiating Text/SDNT) mencatat kemajuan melalui penyelenggaraan Pertemuan ke-38 Kelompok Kerja Bersama ASEAN-China tentang Implementasi Deklarasi Perilaku (JWG-DOC) pada 8-10 Maret 2023 di Jakarta.

Selanjutnya, ASEAN menantikan upaya berkelanjutan untuk memperkuat kerja sama dengan China menuju kesimpulan awal CoC yang efektif dan substantif sesuai dengan hukum internasional, termasuk Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982).

“Kami menegaskan kembali pentingnya menjaga perdamaian, keamanan, stabilitas, keselamatan, dan kebebasan navigasi di Laut China Selatan,” kata para pemimpin ASEAN.

Selama bertahun-tahun, Beijing mengeklaim kepemilikan hampir seluruh wilayah LCS berdasarkan nine-dash line atau sembilan garis putus-putus yang membentang sejauh 2.000 km dari daratan hingga mencapai perairan di dekat Indonesia dan Malaysia.

Dengan klaim tersebut, China membangun fasilitas militer, pulau buatan, dan mengomandoi kapal-kapal perang berlayar di perairan LCS.

Tindakan itu memicu protes dari banyak negara tetangganya, termasuk anggota ASEAN, yang merasa wilayahnya diakui secara ilegal oleh China.

China tetap bersikeras mempertahankan klaimnya atas LCS meskipun Pengadilan Arbitrase Internasional menolak klaim Beijing pada 2016.