Harga minyak melonjak lebih dari dua persen di perdagangan Asia pada Jumat sore, setelah otoritas kesehatan di China, importir minyak mentah global utama, melonggarkan beberapa pembatasan berat akibat COVID di negara itu.
Minyak mentah berjangka Brent terangkat 2,39 dolar AS atau 2,6 persen, menjadi diperdagangkan di 96,06 dolar AS per barel pada pukul 07.45 GMT, memperpanjang kenaikan 1,1 persen di sesi sebelumnya.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS bertambah 2,24 dolar AS atau 2,6 persen, menjadi diperdagangkan di 88,71 dolar AS per barel, setelah naik 0,8 persen di sesi sebelumnya.
Pelonggaran pembatasan termasuk mempersingkat waktu karantina untuk kasus kontak dekat dan pelancong yang masuk selama dua hari, serta menghilangkan hukuman pada maskapai penerbangan karena membawa penumpang yang terinfeksi.
“Pedagang minyak memuji berita itu.
Kunci untuk pasar minyak adalah terus mengamati perkembangan ini dan perubahan positif marjinal lebih lanjut dalam sikap nol-COVID pemerintah,” kata Stephen Innes, Managing Partner di SPI Asset Management, dikutip dari Reuters.
Langkah menuju liberalisasi kebijakan nol COVID akan memberikan batu loncatan bagi pasar minyak, mengingat penguncian merugikan mobilitas dan harga minyak lebih daripada aktivitas ekonomi, katanya.
Harga juga naik pada Jumat setelah data inflasi AS yang lebih rendah dari perkiraan memperkuat harapan bahwa Federal Reserve akan memperlambat kenaikan suku bunga, meningkatkan peluang soft landing untuk ekonomi terbesar dunia itu.
Dolar AS yang lebih lemah juga mendukung harga minyak karena membuat komoditas lebih murah bagi pembeli yang memegang mata uang lain.
Namun, kontrak acuan minyak menuju penurunan mingguan lebih dari 1,0 persen karena meningkatnya persediaan minyak AS, dan kekhawatiran yang tersisa atas permintaan bahan bakar yang dibatasi di China di tengah peningkatan kasus COVID harian.
Beban kasus COVID-19 China melonjak ke level tertinggi sejak penguncian di Shanghai awal tahun ini.
Baik Beijing maupun Zhengzhou melaporkan rekor kasus harian.
Selain perintah kerja dari rumah yang mengurangi mobilitas dan permintaan bahan bakar, perjalanan melintasi China tetap lesu karena orang-orang ingin menghindari risiko terjebak dalam karantina, kata analis ANZ Research dalam sebuah catatan.