Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, saat menyampaikan pidato pada Sidang Majelis Umum PBB ke-77, mengusung paradigma kolaborasi untuk mengatasi berbagai tantangan global.
“Indonesia menawarkan tatanan dunia yang berbasis paradigma baru.
Paradigma win-win, bukan zero-sum.
Paradigma merangkul, bukan mempengaruhi (containment).
Paradigma kolaborasi, bukan kompetisi.
Ini adalah solusi transformatif yang kita butuhkan,” kata Retno, seperti disampaikan dalam keterangan Kementerian Luar Negeri pada Selasa.
Retno mengatakan paradigma baru itu diperlukan dalam menghadapi kondisi dunia saat ini yang mengkhawatirkan di mana pandemi berkepanjangan, ekonomi dunia masih kelam, adanya perang yang nyata, dan pelanggaran terhadap hukum internasional yang telah menjadi norma untuk kepentingan sebagian pihak.
“Krisis pun datang silih berganti, dari pangan, energi, hingga perubahan iklim.
Seharusnya dunia bersatu untuk mengatasinya, namun sayangnya, dunia justru terbelah, sehingga menyulitkan kita berupaya mengatasi kondisi ini,” ujar Retno dalam pembukaan pidatonya di PBB pada Senin (26/9) di New York, Amerika Serikat.
Untuk itu, Pemerintah Indonesia menyerukan perlunya tatanan dunia yang berdasarkan paradigma baru dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-77.
Menurut Menlu RI, paradigma baru itu penting untuk diterapkan karena beberapa alasan, salah satunya untuk menyalakan kembali semangat perdamaian.
Retno menilai bahwa kurangnya rasa saling percaya antarnegara (trust deficit) telah memicu kebencian dan ketakutan yang dapat berujung pada konflik.
Hal ini terjadi di berbagai belahan dunia.
Untuk itu, kata dia, kurangnya rasa saling percaya (trust deficit) itu harus diubah menjadi kepercayaan strategis (strategic trust).
“Ini harus diawali dengan penghormatan terhadap hukum internasional.
Prinsip kedaulatan dan integritas wilayah tidak bisa ditawar.
Prinsip-prinsip ini harus senantiasa ditegakkan.
Penyelesaian masalah secara damai harus menjadi satu-satunya solusi untuk setiap konflik,” ucap Retno.
Dia menambahkan, paradigma baru itu juga harus diterapkan untuk membuat terobosan dalam mengatasi masalah Palestina dan Afghanistan.
Retno menegaskan bahwa Indonesia akan terus bersama Palestina dalam memperjuangkan kemerdekaannya.
Sementara untuk Afghanistan, Indonesia berkomitmen membantu memperjuangkan hak dan akses pendidikan bagi perempuan di Afghanistan.
Alasan kedua penerapan paradigma kolaborasi, menurut Retno, adalah untuk membangkitkan tanggung jawab bersama terhadap pemulihan global.
Dia mengatakan bahwa saat ini solidaritas global semakin menyurut, di mana diskriminasi perdagangan terjadi di mana-mana, demikian juga dengan monopoli rantai pasok global, dan tata kelola ekonomi global dimanfaatkan untuk kepentingan negara kuat.
Untuk itu, dunia menaruh harapan kepada kelompok 20 ekonomi kuat dunia (G20).
“G20 tidak boleh gagal jadi katalis pemulihan dunia.
Kita tidak boleh membiarkan pemulihan global tersandera oleh geopolitik,” katanya.
Lebih lanjut Retno menambahkan bahwa paradigma baru juga dibutuhkan untuk mencapai Agenda Pembangunan 2030 dan memerangi perubahan iklim.
Selain itu, menurut dia, paradigma kolaborasi juga penting untuk memperkuat kemitraan regional.
Arsitektur regional tidak semestinya digunakan untuk mengurung dan mengucilkan negara tertentu.
Arsitektur regional harus dapat mendukung upaya menjaga perdamaian dan stabilitas, bukan justru membahayakannya, kata Retno.
Terakhir, Retno menegaskan bahwa paradigma kolaborasi harus menjadi semangat PBB.
“Pendekatan yang inklusif harus dikedepankan, di mana suara seluruh negara diperlakukan secara setara.
Suara setiap negara, besar maupun kecil, harus didengarkan di forum PBB.
Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi PBB dan pembaharuan multilateralisme agar sesuai dengan tuntutan zaman,” katanya.
“Saya percaya dengan bekerja bersama-sama dan mengadopsi paradigma baru, kita dapat menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua.
Sekarang bukan saatnya lagi kita hanya berbicara.
Sekarang adalah saatnya bagi kita untuk melakukan apa yang kita sampaikan,” ujar Retno.