Laporan PBB: Perbudakan modern meningkat saat krisis picu kemiskinan

0
67

Jumlah orang yang dipaksa bekerja atau menikah meningkat dalam beberapa tahun belakangan menjadi sekitar 50 juta pada hari tertentu, demikian Organisasi Buruh Internasional PBB (ILO), Senin, usai merilis laporan perbudakan modern.

Krisis seperti pandemi COVID-19, konflik bersenjata dan perubahan iklim menjadi penyebab kekacauan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap pekerjaan dan pendidikan, seraya memperburuk kemiskinan ekstrem dan migrasi paksa, kata ILO.

Dibanding dengan data terakhir pada 2016, jumlah orang dalam perbudakan modern naik sekitar 9,3 juta.

Menurut data terkini, kerja paksa menyumbang 27,6 juta dari mereka yang terjerat perbudakan modern selama 2021, lebih dari 3,3 juta adalah anak-anak, dan menikah paksa berjumlah 22 juta.

ILO menemukan bahwa separuh lebih dari seluruh kerja paksa terjadi di negara-negara berpenghasilan menengah ke atas atau berpenghasilan tinggi, dengan pekerja migran lebih dari tiga kali lipat berpotensi terkena imbasnya.

Laporan ILO menyebut Qatar, yang menghadapi banyaknya tuduhan pelanggaran hak buruh sehubungan dengan para migran yang bekerja di sana menjelang Piala Dunia FIFA ,yang dimulai pada November.

Akan tetapi, sejak ILO membuka kantor di Ibu Kota Doha pada April 2018, terjadi “progres yang signifikan” mengenai kondisi hidup dan kerja dari ratusan ribu pekerja migran di negara tersebut, bahkan selagi masih ada masalah dengan penerapan aturan buruh yang baru.

Kepala Eksekutif Qatar 2022, Nasser Al Khater Qatar pada Kamis mengatakan negara tersebut menghadapi segudang kritikan yang tak adil terkait Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia yang tidak berdasarkan pada fakta.

Namun demikian, pihaknya telah menanggapi kritikan yang adil.

Laporan ILO juga menyinggung kekhawatiran soal kerja paksa di sejumlah wilayah China.

Hal itu merujuk pada sebuah laporan yang dirilis komisaris HAM PBB pada 31 Agustus, yang mengungkapkan bahwa “pelanggaran HAM serius” telah dilakukan di China dan penahanan warga Uighur dan Muslim lainnya di Xinjiang berpotensi menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sementara itu, China membantah keras tudingan-tudingan tersebut.