Harga minyak melonjak sekitar tiga persen pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB), setelah anggota OPEC+ menyetujui pengurangan produksi kecil sebesar 100.000 barel per hari untuk meningkatkan harga.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman November menetap 2,72 dolar AS lebih tinggi menjadi 95,74 dolar AS per barel, atau melonjak 2,92 persen.
Harga telah naik hampir empat dolar AS di awal sesi, tetapi dijinakkan oleh komentar dari Gedung Putih bahwa Presiden AS Joe Biden berkomitmen untuk mengambil semua langkah yang diperlukan guna menopang pasokan energi dan menurunkan harga.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS bertambah 2,0 dolar AS menjadi 88,85 dolar AS per barel, terangkat 2,3 persen setelah menguat 0,3 persen di sesi sebelumnya, dalam volume tipis selama liburan Hari Buruh AS.
Pengurangan 100.000 barel per hari (bph) oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, sebuah kelompok yang dikenal sebagai OPEC+, hanya berjumlah 0,1 persen dari permintaan global.
Grup tersebut juga sepakat bahwa mereka dapat bertemu kapan saja untuk menyesuaikan produksi sebelum pertemuan terjadwal berikutnya pada 5 Oktober.
“Ini adalah pesan simbolis yang ingin dikirim kelompok itu ke pasar lebih dari apa pun,” kata analis Oanda, Craig Erlam, menambahkan bahwa kenaikan 100.000 barel per hari bulan lalu oleh OPEC+ tidak dilihat sebagai masalah besar.
“Apa yang mungkin kita lihat dari pasar adalah penetapan harga di sebagian besar skenario terburuk,” tambah Erlam.
Produsen utama OPEC Arab Saudi bulan lalu mengisyaratkan kemungkinan pengurangan produksi untuk mengatasi apa yang dilihatnya sebagai penurunan harga minyak yang berlebihan.
Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak mengatakan bahwa ekspektasi pertumbuhan ekonomi global yang lebih lemah berada di belakang keputusan Moskow dan sekutu OPEC untuk memangkas produksi minyak.
Menteri Energi Rusia Nikolai Shulginov mengatakan negara itu kemungkinan besar akan mengurangi produksi minyaknya sekitar 2,0 persen tahun ini, kantor berita TASS melaporkan.
“Gambaran yang lebih besar adalah bahwa OPEC+ berproduksi jauh di bawah target produksinya dan ini tampaknya tidak akan berubah mengingat Angola dan Nigeria, khususnya, tampaknya tidak dapat kembali ke tingkat produksi sebelum pandemi,” Caroline Bain, kata kepala ekonom komoditas di Capital Economics.
Harga minyak telah jatuh dalam tiga bulan terakhir dari tertinggi multi-tahun yang dicapai pada Maret, tertekan oleh kekhawatiran bahwa kenaikan suku bunga dan pembatasan COVID-19 di beberapa bagian China dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi global dan mengurangi permintaan minyak.
Langkah-langkah penguncian di pusat teknologi selatan China, Shenzhen, mereda pada Senin (5/9/2022) karena infeksi baru menunjukkan tanda-tanda stabil meskipun kota itu tetap dalam kewaspadaan tinggi.
Sementara itu, pembicaraan untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 Barat dengan Iran, yang berpotensi memberikan dorongan pasokan dari kembalinya minyak mentah Iran ke pasar, telah menemui hambatan baru.
Gedung Putih pada Jumat (2/9/2022) menolak seruan Iran untuk kesepakatan terkait dengan penutupan penyelidikan oleh pengawas nuklir PBB, kata seorang diplomat Barat.
Menteri Perminyakan Iran mengatakan pasar energi global membutuhkan peningkatan pasokan minyak dari Iran.
Penggunaan minyak dalam pembangkit listrik juga diperkirakan akan meningkat, kata para analis, karena Gazprom yang dikendalikan negara Rusia pada Jumat (2/9/2022) mengatakan akan berhenti memompa gas melalui pipa Nord Stream 1 karena adanya kerusakan.
Badan Energi Internasional bulan lalu menaikkan perkiraan permintaan minyak untuk tahun ini, sebagian karena memperkirakan peralihan gas ke minyak di beberapa negara karena rekor harga gas alam dan listrik.